Sejarah Bengkalis
Pada
tahun 1645 M, datanglah satu keluarga kecil yang terdiri dari suami
istri. Karena mereka datang dari sebuah kerajaan yang besar dan
mempunyai tamaddun yang tinggi, juga mempunyai pemerintah yang teratur,
maka dari itu kedua suami istri itu melaporkan dirinya kepada
Batin-batin yang berempat yaitu Batin Bengkalis, Batin Senderak, Batin
Penebal dan Batin Alam untuk tinggal di Bengkalis selama-lamanya dan
langsung menjadi penduduk Bengkalis.
Setelah beberapa lamanya tinggal di Bengkalis, mereka belum mendapat cahaya mata, sehingga mereka mengambil seorang anak perempuan sebagai anak angkatnya. Karena sayang yang amat sangat, maka anak perempuan tersebut dinamakan Intan. Menurut orang kita melayu, Intan ialah suatu permata yang sangat tinggi nilai dan harganya, menjadi idaman bagi yang belum memiliki dan menjadi pujaan bagi yang telah menpunyainya.
Kedua suami istri dan anak angkatnya ini sangat pandai bergaul dan menarik hati penduduk, sehingga Batin-batinpun sangat merasa simpati kepada mereka. Oleh karena pandatang itu mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang banyak, maka dia selalu di bawa bermusyawarah apabila ada suatu masalah yang muskil, sudah tuah seseorang, bintang sedang terang, ayah encik Intan tersebut diajak bekerja sama dengan Batin-batin sebagai wakil dari mereka berempat.
Seperti yang tersebut diatas disekitar tahun 1645 M, dipelabuhan Bengkalis sangat banyak berlabuh Kapal-kapal Niaga kepunyaan Bangsa Asing. Meningat hal tersebut ayah dari encik Intan mengajukan usulan kepada Batin-batin yang berempat itu, dan membayangkan susunan pemerintahan yang telah dialaminya diwaktu ia berada di Malaka dahulu. Menurut pandangan beliau, bahwa Bengkalis adalah suatu pulau yang dibatasi oleh lautan disekelilingnya, dan mempunyai pelabuhan yang tertentu, dari itu alangkah baiknya kita mengadakan seorang Datuk yang megurus pelabuahan, seperti di Malaka sendiri, yang dinamakan Datuk Syahbandar.
Mendengar keterangan itu Batin-batin yang berempat ini sangat bersetuju sekali untuk diadakan Datuk Syahbandar tersebut. Untuk itu di barilah jalan yang sebaik-baiknya siapa yang patut menjadi Datuk Syahbandar tersebut.Sudah dikatakan diatas tersebut nasib seseorang yang akan mucul sebagai orang yang terkenal, maka undian tersebut jatuh pada ayah dari pada Encik Intan. Hal inipun masih diragukan lagi tetapi setelah mengadakan beberapa ujian, barulah dapat diterima oleh Batin-batin tersebut. Setelah selesai semuanya, maka Batin-batin itu menyatakan dengan kerelaan hatinya, mengangkat Beliau sebagai Datuk Syahbandar serta oleh panglima, juga masyarakat Pulau Bengkalis umumnya. Dengan adanya pengangkatan ini, maka resmilah ayah Encik Intan menjadi Datuk Syahbandar yang pertama.
Selang berberapa lamanya, hamil lah Istri Datuk Syahbandar Bengkalis dan akhirnya lahirlah seorang anak perempuan. Karena sangat kasihnya, maklumlah anak pertama dari darah dagingnya sendiri dan dinamakanya Encik Mas.
Pada tahun 1675 M, meninggallah Datuk Syahbandar itu, dan sebagai pewarisnya diangkatlah Encik Mas sebagai Datuk Syahbandar Bengkalis yang kedua.
Selama beliau memegang jabatan Datuk Syahbandar itu, tata pemeritahan serta adat kebudayaan disusunya dengan baik, menurut adat istiadat berdasarkan tata cara Kerajaan Melayu Melaka, yang dipelajarinya dari ayahndanya. Dalam melaksanakan pemerintahaan, beliau ini didampingi oleh pembesar-pembesar dan panglima-panglimanya. Untuk menjalankan pemerintahan harian, diangkatnya anak dari Batin-batin yang berempat ini, dengan ketentuan harus menurut perintahnya. Dengan cara pemerintah dan adat istiadat yang baik oleh karena itulah, maka Pulau Bengakalis terkenal dimana-mana, banyak kapal-kapal dagang bangsa asing siggah di pelabuhannya.
Disini perlu kita ketahui, bahawa anak Datuk Syahbandar Bengkalis ini tidak mengizinkan untuk mendirikan Angkatan Besenjata dan Kenderaan laut, karena beliau berpendapat dengan adanya ini, akan timbul niat jahat untuk menyerang dan menaklukan negeri orang lain. Hanya Belau mengadakan badan keamanan di dalam bandar saja.
Disekitar tahun 1680 M, pulau Bengkalis didatangi sebuah perahu layar, kalau ditinjau dari peralatannya dapatlah dikatakan sebuah kapal perang dari Sulawesi Selatan yaitu Wajok.
Kapal tersebut ternyata kapal putra Sultan Wajok yang diketahui oleh putra Sultan Wajok sendiri, sebanyak empat orang yang bernama :
1. DAENG TUAGIK.
2. DAENG PUARIK.
3. DAENG RONGGIK.
4. DAENG PENGGERIK.
Mereka datang menemui Datuk Syahbandar Bengkali, yaitu Encik Mas dan menyampaikan maksud mereka yaitu :
Mereka datang dari Sulawesi (Wajok), adalah untuk mencari pengalaman dan pengetahuan diseluruh Nusantara, serta mencari persahabatan. Mendengar perkataan mereka ini, dan melihat tingkah laku dan sopan santun yang baik, maka disambutlah oleh Datuk Bandar dengan senang hati.
Mereka kini, diizinkan tinggal di Bengkalis seberapa lama mereka mau. Beberapa purnama kemudian, mereka bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi, salah seorang dari mereka ini tidak ikut yaitu Daeng Tuagik Saudara tua dari mereka dengan alasanya bahwa beliau belum puas tinggal di Bengkalis. Hal ini disetujui oleh kedua belah pihak, baik dari adik-adik Daeng maupun dari pihak Datuk Bandar Bengkalis untuk dijadikan Istrinya. Maksud baiknya ini, disampaikan kepada Encik Mas,
lamaran tersebut diterima dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1. Keturunannya (Daeng Tuagik dengan Encik Mas) tidak boleh memakai gelaran dari Sulawesi, sampailah kepada anak cucunya nanti.
2. Daeng Tuagik sendiri tidak boleh mengadakan Angakatan Bersenjata Laut, sebagaimana terdapat dalam dasar pemerintahan Bengkalis.
Setelah syarat-syarat tadi disampaikan oleh orang-orang Bengkalis kepada Daeng Tuagik dan dipikirnya matang-matang, maka diterimanyalah syarat-syarat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian diadakan peminangan serta diadakan pernikahan yang meriah sekali, maklumlah yang mengadakan keramaian itu ialah Datuk Bandar Bengkalis dan Daeng Tuagik anak dari Raja Sulawesi Selatan.
Dari Datuk Laksemana Maha Raja Lela Setia Diraja inilah tersebar dimana-mana keturunan dari Panglima Tuagik. Datuk Lakseman Sri Maha Raja Lela Setia Diraja ini menikah dengan Encik Saimah anak dari Penghulu Dumai yang pertama, mempunyai anak sebanyak tujuh orang. Dua laki-lak dan lima perempuan, antara lain ialah :
1. Encik Mansayu (perempuan)
2. Encik Aminah (perempuan)
3. Encik Nandak (perempuan)
4. Encik Nombih (perempuan)
5. Encik Dobih (perempuan)
6. Encik Khamis (laki-laki)
7. Encik M.Yusuf/E.Ayat (Laki-laki)
Adapun Isteri beliau yang kedua, anak dari Batin Bengkalis yang bernama Gundah, anaknya itu bernama : Encik Mahintan, dan Encik Mahintan beranak :
1. Encik Umar (Laki-laki)
2. Encik Epong (perempuan)
(meninggal semasa gadisnya)
Kita kembali ke Kerajaan Siak Sri Indrapua, pada saat itu Sultan sedang memikirkan tentang kepergian kemanakannya yang telah mangkat di Langkat dengan gelar Marhum mangkat di Balai. Beliau bermaksud untuk memindahkan Ibu Kerajaannya ketempat lain. Maksudnya ini tercapai dengan pindahnya Ibu Kerajaan dari Mempura ke Senapelan (Pekan Baru sekarang ini) tahun 1775 M.
Sultan Siak Sri Indrapura ini mempunyai keturunan sebanyak 5 (lima) orang antaranya :
1. Tengku Muhammad Ali yang bergelar Tengku Panglima Besar.
2. Tengku Embung Badariah.
3. Tengku Akil
4. Tengku Hawi
5. Tengku Oesman.
Setelah setahun beliau memerintah di Senapelan, terniat pula dihati beliau untuk mencari menantu keturunan dari Nabi Besar Muhammad S.A.W. akhirnya niat beliau tercapai juga, dengan mengawinkan Tengku Embung Badariah dengan Saiyid Syarif Oesman Ibnu Saiyid Syarif Abdurrahman Sahabuddin. Adapun Tengku Alam (Sultan Siak Sri Indrapura yang memerintah pada saat itu) hari tuanya dihabiskan dengan beramal dan beribadah kepada Allah SWT saja. Hinggalah beliau mangkat pada tahun 1780 M, setelah beliau mangkat digelarlah dengan gelar Marhum Bukit, dan dimakamkan didepan Masjid Raya Pekanbaru sekarang ini.
Adapun sebagai pengganti beliau, dinobatlah anaknya yaitu Tengku Muhammad Ali dengan gelar Sultan Muhammad Ali Muazamsyah tahun 1780 M. beliau ini tidak lama memerintah, karena beliau dinobatkan menjadi Sultan sudah berumur lanjut. Dalam masa yang singkat ini, beliau berusaha membuat jalan dari Senapelan ke Tratak Buluh, dan melaksanakan perdangangan dengan daerah Sumatera Barat melalui Payakumbuh. Juga beliau hari-hari pekan di daerah Kerajaannya, yaitu hari-hari pasar, sehingga timbullah perkataan Pekan Baru sekarang ini.
Beliau mangkat pada tahun 1782 M. atas jasa-jasa beliau, setelah mangkat beliau digelar dengan nama Marhum Pekan. Setelah kemangkatan Sultan Muhammad Ali Muazamsyah dinobatkanlah Tengku Yahya (putra dari Tengku Ismail), menjadi Sultan Siak Sultan Sri Indrapura VI, dengan gelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafarsyah Sultan ini memindahkan Ibu Kerajaannya dari Senapelan ke Mempura, yaitu bekas Ibu Kerajaan yang telah dihina oleh ayahndanya dahulu. Pengangkatan Sultan ini dilakukan oleh Datuk Laksemana Maha Raja Lela Setia Diraja, sebagaimana menurut kebiasaannya. Tidak beberapa lama beliau ini memerintah terniat dalam hati beliau untuk pergi ke semenanjung melayu guna menziarahi makam dari neneknya, dan mangkatlah beliau disana, di sebuah tempat yang bernama Dungun. Kemudian beliau ini setelah mangkatnya digelar Mahum Di Dungun. Sebelum beliau meninggalkan Kerajaan Siak Sri Indrapura, Tahta Kerajaan diwakilkannya kepada Saiyid Ali, anak dari Tengku Embung Badariah berkawin dengan Saiyid Oesman. Berita kemangkatan dari Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafarsyah ini, sampai ke Siak oleh pembesar-pembesar Kerajaan Siak Sri Indrapura, dan dihadiri pula oleh Datuk Lakseman Maha Raja Lela Setia Diraja mengadakan sidang/untuk mencari pengganti Sultan.
Sidang memutuskan bahwa Saiyid Ali yang menjabat Sultan di angkat menjadi Sultan Siak Sri Indrapura. Tidak beberapa lama kemudian dinobatkanlah beliau menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Assayaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin. Beliau inilah Sultan Siak yang pertama berdarah Arab dan bergelar Syaiyid Syarif. Pada masa Sultan inilah Kerajaan Siak Sri Indrapura mencapai kejayaan dibidang peluasan daerah jajahan dengan kerja sama Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja. Ayahanda dari Sultan ini mangkat di dalam peperangan menaklukkan Batu Bara yang digelar Marhum Barat (Saiyid Syarif Oesman). Kemudian dipindahkan ke Pekanbaru di depan Mesjid Raya bersama mertuanya.
Setelah Sultan Siak Sri Indrapura datang, maka diadakanlah keramaian. Disinalah Encik Khamis digelar dengan gelar ayahnya yaitu DATUK LAKSEMANA RAJA DILAUT(datuk laksamana raja dilaut ke dua). Dan adiknya Encik Umar digelarkan dengan gelaran sesuai dengan kegagahannya yaitu Panglima Dalam. Kepada Encik Khamis, olah ayahnya diserahkan keris Tuasik sebagai pemerintahan di Bukit Batu, sedangkan Encik Umar diserahkan keris Tabe Alam sebagai seorang dari kepala Panglima.
Dalam pemerintahan sehari-hari, sebagai pembantu dari Datuk Laksemana Raja Dilaut adalah orang Kaya Negara Ibrahim dengan gelaran Singa Berantai. Dan Lancang kenaikan beliau bernama Elang Laut.
Didalam pemerintahan Datuk Laksemana Setia Diraja ini tidaklah banyak mengalami peperangan baik diluar maupun didalam daerah Bukti Batu. Dan Belanda pada saat itu sudah mempunyai pengaruh yang besar sekali, bukan saja di daerah Bukit Batu, Bengkalis tetapi meliputi kerajaan siak Sri Indrapura sendiri.
Setelah beberapa lamanya tinggal di Bengkalis, mereka belum mendapat cahaya mata, sehingga mereka mengambil seorang anak perempuan sebagai anak angkatnya. Karena sayang yang amat sangat, maka anak perempuan tersebut dinamakan Intan. Menurut orang kita melayu, Intan ialah suatu permata yang sangat tinggi nilai dan harganya, menjadi idaman bagi yang belum memiliki dan menjadi pujaan bagi yang telah menpunyainya.
Kedua suami istri dan anak angkatnya ini sangat pandai bergaul dan menarik hati penduduk, sehingga Batin-batinpun sangat merasa simpati kepada mereka. Oleh karena pandatang itu mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang banyak, maka dia selalu di bawa bermusyawarah apabila ada suatu masalah yang muskil, sudah tuah seseorang, bintang sedang terang, ayah encik Intan tersebut diajak bekerja sama dengan Batin-batin sebagai wakil dari mereka berempat.
Seperti yang tersebut diatas disekitar tahun 1645 M, dipelabuhan Bengkalis sangat banyak berlabuh Kapal-kapal Niaga kepunyaan Bangsa Asing. Meningat hal tersebut ayah dari encik Intan mengajukan usulan kepada Batin-batin yang berempat itu, dan membayangkan susunan pemerintahan yang telah dialaminya diwaktu ia berada di Malaka dahulu. Menurut pandangan beliau, bahwa Bengkalis adalah suatu pulau yang dibatasi oleh lautan disekelilingnya, dan mempunyai pelabuhan yang tertentu, dari itu alangkah baiknya kita mengadakan seorang Datuk yang megurus pelabuahan, seperti di Malaka sendiri, yang dinamakan Datuk Syahbandar.
Mendengar keterangan itu Batin-batin yang berempat ini sangat bersetuju sekali untuk diadakan Datuk Syahbandar tersebut. Untuk itu di barilah jalan yang sebaik-baiknya siapa yang patut menjadi Datuk Syahbandar tersebut.Sudah dikatakan diatas tersebut nasib seseorang yang akan mucul sebagai orang yang terkenal, maka undian tersebut jatuh pada ayah dari pada Encik Intan. Hal inipun masih diragukan lagi tetapi setelah mengadakan beberapa ujian, barulah dapat diterima oleh Batin-batin tersebut. Setelah selesai semuanya, maka Batin-batin itu menyatakan dengan kerelaan hatinya, mengangkat Beliau sebagai Datuk Syahbandar serta oleh panglima, juga masyarakat Pulau Bengkalis umumnya. Dengan adanya pengangkatan ini, maka resmilah ayah Encik Intan menjadi Datuk Syahbandar yang pertama.
Selang berberapa lamanya, hamil lah Istri Datuk Syahbandar Bengkalis dan akhirnya lahirlah seorang anak perempuan. Karena sangat kasihnya, maklumlah anak pertama dari darah dagingnya sendiri dan dinamakanya Encik Mas.
Pada tahun 1675 M, meninggallah Datuk Syahbandar itu, dan sebagai pewarisnya diangkatlah Encik Mas sebagai Datuk Syahbandar Bengkalis yang kedua.
Selama beliau memegang jabatan Datuk Syahbandar itu, tata pemeritahan serta adat kebudayaan disusunya dengan baik, menurut adat istiadat berdasarkan tata cara Kerajaan Melayu Melaka, yang dipelajarinya dari ayahndanya. Dalam melaksanakan pemerintahaan, beliau ini didampingi oleh pembesar-pembesar dan panglima-panglimanya. Untuk menjalankan pemerintahan harian, diangkatnya anak dari Batin-batin yang berempat ini, dengan ketentuan harus menurut perintahnya. Dengan cara pemerintah dan adat istiadat yang baik oleh karena itulah, maka Pulau Bengakalis terkenal dimana-mana, banyak kapal-kapal dagang bangsa asing siggah di pelabuhannya.
Disini perlu kita ketahui, bahawa anak Datuk Syahbandar Bengkalis ini tidak mengizinkan untuk mendirikan Angkatan Besenjata dan Kenderaan laut, karena beliau berpendapat dengan adanya ini, akan timbul niat jahat untuk menyerang dan menaklukan negeri orang lain. Hanya Belau mengadakan badan keamanan di dalam bandar saja.
Disekitar tahun 1680 M, pulau Bengkalis didatangi sebuah perahu layar, kalau ditinjau dari peralatannya dapatlah dikatakan sebuah kapal perang dari Sulawesi Selatan yaitu Wajok.
Kapal tersebut ternyata kapal putra Sultan Wajok yang diketahui oleh putra Sultan Wajok sendiri, sebanyak empat orang yang bernama :
1. DAENG TUAGIK.
2. DAENG PUARIK.
3. DAENG RONGGIK.
4. DAENG PENGGERIK.
Mereka datang menemui Datuk Syahbandar Bengkali, yaitu Encik Mas dan menyampaikan maksud mereka yaitu :
Mereka datang dari Sulawesi (Wajok), adalah untuk mencari pengalaman dan pengetahuan diseluruh Nusantara, serta mencari persahabatan. Mendengar perkataan mereka ini, dan melihat tingkah laku dan sopan santun yang baik, maka disambutlah oleh Datuk Bandar dengan senang hati.
Mereka kini, diizinkan tinggal di Bengkalis seberapa lama mereka mau. Beberapa purnama kemudian, mereka bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi, salah seorang dari mereka ini tidak ikut yaitu Daeng Tuagik Saudara tua dari mereka dengan alasanya bahwa beliau belum puas tinggal di Bengkalis. Hal ini disetujui oleh kedua belah pihak, baik dari adik-adik Daeng maupun dari pihak Datuk Bandar Bengkalis untuk dijadikan Istrinya. Maksud baiknya ini, disampaikan kepada Encik Mas,
lamaran tersebut diterima dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1. Keturunannya (Daeng Tuagik dengan Encik Mas) tidak boleh memakai gelaran dari Sulawesi, sampailah kepada anak cucunya nanti.
2. Daeng Tuagik sendiri tidak boleh mengadakan Angakatan Bersenjata Laut, sebagaimana terdapat dalam dasar pemerintahan Bengkalis.
Setelah syarat-syarat tadi disampaikan oleh orang-orang Bengkalis kepada Daeng Tuagik dan dipikirnya matang-matang, maka diterimanyalah syarat-syarat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian diadakan peminangan serta diadakan pernikahan yang meriah sekali, maklumlah yang mengadakan keramaian itu ialah Datuk Bandar Bengkalis dan Daeng Tuagik anak dari Raja Sulawesi Selatan.
Genaplah
kini perkawinan Datuk Bandar Bengkalis dengan Daeng Tuagik satu tahun,
maka diadakanlah pesta besar-besaran yang belum pernah diadakan
sebelumnya. Bertepatan pula atas mufakat bersama, diangkatlah/ditabalkan
Daeng Tuagik sebagai Panglima digelar Panglima Tuagik. Dan diangkat
menjadi ketua dari panglima-panglima yang ada di Bengklis ini dibawah
perintah Datuk Bandar Bengkalis. Begitulah Bengkalis pada waktu itu aman
tenteram, sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi dilain pihak yaitu
Daeng Tuagik selalu dalam kegelisahaan, apabila di dengarnya
berita-berita dari orang bawahannya bahawa di daerah lain di pulau-pulau
yang berdekatan dengan pulau bengkalis, selalu saja didatangi malahan
dibunuh oleh prompak-prompak hal ini yang menyebabkan Panglima Tuagik
bermuram durja, hidupnya selalu dalam kegelisahaan.
Apabila ia memandang ketengah lautan, disana tampaklah olehnya kapal-kapal Belanda hili mudik entah dari mana tidak diketahui dengan pasti, maklumlah dilihat dari daratan yang jauh. Betapa tidak darah Bugis yang mengalir dalam tubuhnya itu, tidak mengizinkan ia berdiam diri saja. Seperti yang kita ketahui didalam sejarah, bahwa Bangsa Bugis menjadi Bangsa pelaut yang mengarungai lautan. Demikian pula halnya dengan panglima Tuagik seorang Putra Raja Wajok sendiri. Putra Wajok ini mempunyai darah campuran antara Bone dan Luwu Kalau Sultan Bone “ MANGKAUE “ yang bertahta atau yang memerintah, sedangkan Raja Luwu pula dipanggil/digelar “ MADAYUNGE “ artinya berpayung.
Baginda Luwu biasanya disebut Datu Luwu, dan kalau Raja Bone terkenal gagah beraninya, maka Datu Luwu terkenal juga dengan hal ini. Baginda terkenal juga sebagai seorang Sultan yang baik budi bahasanya lagi arif dan bijaksana. Baginda Datu Luwu memerintah sangat adilnya, seta penuh kasih sayang seluruh rakyatnya. Demikianlah panglima Tuagik adalah keturunan dari dua suku Bangsa Bugis yang terkenal gagah berani dan perkasanya yaitu mengarungai lautan dan menghapuskan segala peropak atau menemui kapal-kapal Belanda yang diidam-idamkanya.
Untuk memperkuat maksudnya ini Daeng Tuagik mengambil keputusan untuk memindahkan Ibu Negeri Bengkalis. Hal ini disampaikanya kepada Istrinya Datuk Bandar Bengkalis dengan alasan Ibu Negeri yang sekarang ini tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini dan harus kita pindahkan dari Muntai ini ke sungai Bengkalis, yaitu mengahadap ke selat Bengkalis. Hal ini disetujui oleh Datuk Bandar Bengkalis beserta orang-orang besar Bengkalis. Kemudian di tahun berikutnya pindahlah Ibu Negeri Bengkalis ke Sungai Bengkalis yang dimaksud.
Adapun Encik Mas sejak dari mula perkawinannya 1680 M sampai pindahnya ke sungai Bengkalis tetap sebagaimana biasa yaitu masih belum mempunyai cahaya mata. Baru sekitar tahun 1690 M ia mendapat seorang anak laki-laki. Kemudian sebagaimana perjanjian dengan panglima Taugik. Apabila mendapat turunan tidak boleh digelar dengan gelaran Bugis dan juga namanya tidak boleh mengikut nama Bugis. Oleh sebaba itu anak laki-laki yang baru saja dilahirkan dinamakannya Jamal. Setelah anak ini dewasa, dinamakanlah dengan nama “ Encik Jamal“ dan apa bila Encik Jamal berumur tiga puluh tahun, maka digelarlah dengan gelaran ibundanya yaitu Datuk Bandar Jamal. Setelah tampuk pemerintahan Bengkalis dipegang oleh Datuk Bandar Jamal, maka Encik Mas pun kembalilah sebagaimana orang biasa. Disinilah panglima Tuagik mengambil kesempatan untuk mendesak kepada putranya Datuk Bandar Jamal agar dengan segera mengadakan sebuah Angkatan Laut yang cukup dengan persenjataannya. Hal ini selalu juga dinasehatkan oleh ibunya, jangan diturut sebagaimana kehendak panglima Tuagik. Kalau hal ini dilakukan berarti kita memang mencari lawan.
Akhirnya sekitar tahun 1720 M terpikir pula oleh Datuk Bandar Jamal, kalau kehendak ayahndanya ini tidak diturut ditakutinya ayahndanya akan pergi meninggalkan Bengkalis. Maka dibikinyalah satu perahu yang amat besar, perahu tersebut banyak menyerupai perahu-perahu daerah Sualwesi. Setelah perahu besar siap segala-galanya, maka perhu itu diberi warna kuning bertumpuk-tumpuk pada bahagian badanya dengan memakai layar Bugisnya. Layar dan Jibnya berwarna putih. Ada pun perahu yang besar itu dinamankanya Lancang Kuning. Adapun bendera diujung tiang berwarna hijau lumut. Hijau lumut adalah lambang kemakmuran. Pada tahun 1720 M itu juga dikawinkalah Datuk Bandar Jamal dengan anak Batin senderak yang bernama Encik Mahiran.
DATUK PANGLIMA TUAGIK IKUT MENYERANG
JOHOR
Adapun kerajaan Johor sekitar tahun 1691 M, yang menjadi sultan ialah Sultan Mahmud Syah II. Sultan ini memerintah selama 8 tahun. Ia mangkat pada tahun 1699 M. Sultan Mahmud Syah II mati ditikam oleh Laksamananya sendiri yang bernama Megat Sri Rama. Dalam catatan tulisan tangan kerajaan Johor dan juga dalam catatan tulisan tangan kerajaan Siak Sri Indra Pura. Dituturkan seulas Nangka, yang menyebabkan peristiwa tersebut. Dinyatakan juga setelah Sultan Mahmud Syah II ditikam oleh Laksmana Megat Sri Rama waktu ia sedang berjulang. Setelah merasa dirinya kena tikam ia terus mencabut keris tersebut mengenai ibu jari kaki Megat Sri Rama. Disebabkan keris Sultan itu sangat berbisa maka Megat Sri Rama pun mati seketika itu juga. Adapun kematian Sultan disebut Almarhum Mangkat Dijulang. Setelah kedua-keduanya tewas, maka terjadilah kekacauan didalam Negeri Johor. Keluarga Megat Sri Rama menyerbu masuk kedalam Istana membinasakan keluarga Sultan Mahmud Syah II.
Apabila ia memandang ketengah lautan, disana tampaklah olehnya kapal-kapal Belanda hili mudik entah dari mana tidak diketahui dengan pasti, maklumlah dilihat dari daratan yang jauh. Betapa tidak darah Bugis yang mengalir dalam tubuhnya itu, tidak mengizinkan ia berdiam diri saja. Seperti yang kita ketahui didalam sejarah, bahwa Bangsa Bugis menjadi Bangsa pelaut yang mengarungai lautan. Demikian pula halnya dengan panglima Tuagik seorang Putra Raja Wajok sendiri. Putra Wajok ini mempunyai darah campuran antara Bone dan Luwu Kalau Sultan Bone “ MANGKAUE “ yang bertahta atau yang memerintah, sedangkan Raja Luwu pula dipanggil/digelar “ MADAYUNGE “ artinya berpayung.
Baginda Luwu biasanya disebut Datu Luwu, dan kalau Raja Bone terkenal gagah beraninya, maka Datu Luwu terkenal juga dengan hal ini. Baginda terkenal juga sebagai seorang Sultan yang baik budi bahasanya lagi arif dan bijaksana. Baginda Datu Luwu memerintah sangat adilnya, seta penuh kasih sayang seluruh rakyatnya. Demikianlah panglima Tuagik adalah keturunan dari dua suku Bangsa Bugis yang terkenal gagah berani dan perkasanya yaitu mengarungai lautan dan menghapuskan segala peropak atau menemui kapal-kapal Belanda yang diidam-idamkanya.
Untuk memperkuat maksudnya ini Daeng Tuagik mengambil keputusan untuk memindahkan Ibu Negeri Bengkalis. Hal ini disampaikanya kepada Istrinya Datuk Bandar Bengkalis dengan alasan Ibu Negeri yang sekarang ini tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini dan harus kita pindahkan dari Muntai ini ke sungai Bengkalis, yaitu mengahadap ke selat Bengkalis. Hal ini disetujui oleh Datuk Bandar Bengkalis beserta orang-orang besar Bengkalis. Kemudian di tahun berikutnya pindahlah Ibu Negeri Bengkalis ke Sungai Bengkalis yang dimaksud.
Adapun Encik Mas sejak dari mula perkawinannya 1680 M sampai pindahnya ke sungai Bengkalis tetap sebagaimana biasa yaitu masih belum mempunyai cahaya mata. Baru sekitar tahun 1690 M ia mendapat seorang anak laki-laki. Kemudian sebagaimana perjanjian dengan panglima Taugik. Apabila mendapat turunan tidak boleh digelar dengan gelaran Bugis dan juga namanya tidak boleh mengikut nama Bugis. Oleh sebaba itu anak laki-laki yang baru saja dilahirkan dinamakannya Jamal. Setelah anak ini dewasa, dinamakanlah dengan nama “ Encik Jamal“ dan apa bila Encik Jamal berumur tiga puluh tahun, maka digelarlah dengan gelaran ibundanya yaitu Datuk Bandar Jamal. Setelah tampuk pemerintahan Bengkalis dipegang oleh Datuk Bandar Jamal, maka Encik Mas pun kembalilah sebagaimana orang biasa. Disinilah panglima Tuagik mengambil kesempatan untuk mendesak kepada putranya Datuk Bandar Jamal agar dengan segera mengadakan sebuah Angkatan Laut yang cukup dengan persenjataannya. Hal ini selalu juga dinasehatkan oleh ibunya, jangan diturut sebagaimana kehendak panglima Tuagik. Kalau hal ini dilakukan berarti kita memang mencari lawan.
Akhirnya sekitar tahun 1720 M terpikir pula oleh Datuk Bandar Jamal, kalau kehendak ayahndanya ini tidak diturut ditakutinya ayahndanya akan pergi meninggalkan Bengkalis. Maka dibikinyalah satu perahu yang amat besar, perahu tersebut banyak menyerupai perahu-perahu daerah Sualwesi. Setelah perahu besar siap segala-galanya, maka perhu itu diberi warna kuning bertumpuk-tumpuk pada bahagian badanya dengan memakai layar Bugisnya. Layar dan Jibnya berwarna putih. Ada pun perahu yang besar itu dinamankanya Lancang Kuning. Adapun bendera diujung tiang berwarna hijau lumut. Hijau lumut adalah lambang kemakmuran. Pada tahun 1720 M itu juga dikawinkalah Datuk Bandar Jamal dengan anak Batin senderak yang bernama Encik Mahiran.
DATUK PANGLIMA TUAGIK IKUT MENYERANG
JOHOR
Adapun kerajaan Johor sekitar tahun 1691 M, yang menjadi sultan ialah Sultan Mahmud Syah II. Sultan ini memerintah selama 8 tahun. Ia mangkat pada tahun 1699 M. Sultan Mahmud Syah II mati ditikam oleh Laksamananya sendiri yang bernama Megat Sri Rama. Dalam catatan tulisan tangan kerajaan Johor dan juga dalam catatan tulisan tangan kerajaan Siak Sri Indra Pura. Dituturkan seulas Nangka, yang menyebabkan peristiwa tersebut. Dinyatakan juga setelah Sultan Mahmud Syah II ditikam oleh Laksmana Megat Sri Rama waktu ia sedang berjulang. Setelah merasa dirinya kena tikam ia terus mencabut keris tersebut mengenai ibu jari kaki Megat Sri Rama. Disebabkan keris Sultan itu sangat berbisa maka Megat Sri Rama pun mati seketika itu juga. Adapun kematian Sultan disebut Almarhum Mangkat Dijulang. Setelah kedua-keduanya tewas, maka terjadilah kekacauan didalam Negeri Johor. Keluarga Megat Sri Rama menyerbu masuk kedalam Istana membinasakan keluarga Sultan Mahmud Syah II.
Dalam
kekacauan itulah salah seorang dari Istri Sultan yang bernama Encik
Empong dapat diselamatkan dan dilarikan kedalam hutan oleh Nakhoda Malim
yaitu salah seorang dari Hulubalang Sultan. Beberapa waktu Negeri Johor
berada dalam keadaan hura hara, dan akhirnya dilantikalah Putra dri
Bendahara Paduka Raja sebagai pengganti Sultan dengan gelaran Sultan
Abdul Jalil IV. Pelantikan itu dilakukan karena di Johor tidak ada lagi
keturunan Sultan Mahmud Syah II.
Adapun Encik Epong yaitu Istri dari Sultan Mahmud Syah II sedang hamil tua. Didalam pelariannya itulah ia melahirkan seorang Putra yang dinamakanya Raja Kecil. Untuk menghindari dari kejaran pengikut-pengikut Megat Sri Rama, bayi dan ibunya ke Jambi dan terus ke Indragiri. Kemudian setelah beberapa lama di Indragiri dibawa kepagaruyung. Diwaktu itu yang memerintah di pagaruyung ialah Yang Dipertuan Sakti dengan ibundanya Putri Janilan.
Selama yang Dipertuan Raja Kecil di Pagaruyung dididik oleh Raja sebagaimana anaknya sendiri dan diajarkan segala ilmu baik dalam ilmu pemerintahan, baik dalam ilmu kependekaran. Setelah selesai semua yang di pelajarinya itu, maka digelarlah ia oleh Raja Pagaruyung dengan gelar “ Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil “
Setelah ibundanya mangkat, maka sekitar tahun 1719 M, timbullah niat jahat Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil untuk pergi ke Johor untuk menutut bela atas kemangkatan ayahndanya. Hal ini disampaikanya ke pada Raja Pagaruyung. Beliau mengizinkannya dan pada Raja Kecil diberikannya pengiring dari orang-orang besar Kerajaan Pagaruyung sebanyak 5 orang.
Adapun Encik Epong yaitu Istri dari Sultan Mahmud Syah II sedang hamil tua. Didalam pelariannya itulah ia melahirkan seorang Putra yang dinamakanya Raja Kecil. Untuk menghindari dari kejaran pengikut-pengikut Megat Sri Rama, bayi dan ibunya ke Jambi dan terus ke Indragiri. Kemudian setelah beberapa lama di Indragiri dibawa kepagaruyung. Diwaktu itu yang memerintah di pagaruyung ialah Yang Dipertuan Sakti dengan ibundanya Putri Janilan.
Selama yang Dipertuan Raja Kecil di Pagaruyung dididik oleh Raja sebagaimana anaknya sendiri dan diajarkan segala ilmu baik dalam ilmu pemerintahan, baik dalam ilmu kependekaran. Setelah selesai semua yang di pelajarinya itu, maka digelarlah ia oleh Raja Pagaruyung dengan gelar “ Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil “
Setelah ibundanya mangkat, maka sekitar tahun 1719 M, timbullah niat jahat Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil untuk pergi ke Johor untuk menutut bela atas kemangkatan ayahndanya. Hal ini disampaikanya ke pada Raja Pagaruyung. Beliau mengizinkannya dan pada Raja Kecil diberikannya pengiring dari orang-orang besar Kerajaan Pagaruyung sebanyak 5 orang.
Perjalanan
menuju Johor melewati Tapung Kiri Petapahan menghilir Sungai Jantan
(Siak). Sesampainya dihilir yaitu di Pulau Sabak didapati disana ada
sebuah perkampungan yang besar yang diketuai oleh petugas Bandar, sampan
Raja Kecil diminta cukai Kepala sebagaimana yang dilakukan terhadap
pedagang yang lalau lintas disana. Raja Kecil yang menyamar sebagai
pedagang itu tidak berniat bermusuhan dalam perjalanannya itu. Akan
tetapi Raja Kecil ingin mencoba kepada Petando (Opas) bahwa ia tidak
mempunyai uang. Perkataan Raja Kecil mengerat tali epoknya (tempat
sirih) yang terbuat dari emas urai, lalu diberikanya kepada petando tadi
sambil berkata “ kami tidak mempunyai uang, nah ambilah ini. Nanti
apabila kami pulang harus kami tebus dengan darah Datuk Bandar Sabak Aur
“. Alangkah terkejutnya petando melihat tali epok yang terbuat dari
emas serta mendengar perkataan dari Raja Kecil itu. Tetapi apa hendak
dikata perbuatanya telah terlanjur.
Yang
Dipertuan Raja Kecil meneruskan perjalanannya hingga kemudian tampaklah
sebuah perkampungan yang sangat ramai penduduknya yang Dipertua Raja
Kecil bertanya kepada pengikutnya. Lalu diterangkanlah oleh salah
seorang dari mereka yang mengetahui nama kampung itu yaitu Bengkalis.
Yang Dipertuan Raja Kecil pun sampailah di Bengkalis, menyamar sebagai
seorang saudagar. Setelah beberapa hari yang Dipertuan Raja Kecil di
Bengkalis, barulah ianya diketahui oleh Datuk Bandar Jamal dan
ayahndanya panglima Tuagik. Dan yang Dipertuan Raja Kecilpun membuka
rahasianya, bahwa beliau sebenarnya adalah Putara Sultan Mahmud Syah II
yang bergelar Sultan Mahmud Mangkat Dijulang.
Kemudian
beliau mengisahkan perjalanan beliau sejak dilahikan sampai ke
Pagaruyung dan pada saat sekarang ini ia akan menuju johor untu merebut
kembali Tahta ayahndanya. Apabila mendenganr maksud dan tujuan Yang
Dipertuan Raja Kecil itu orang-orang Bengkalis ingin bersama-sama
membantu perjuangan Raja Kecil itu. Atas nama pemerintah Bengkalis,
mengadakan sebuah Angkatan yang dikepalai oleh Datuk Panglima Tuagik,
siap siaga menunggu perintah. Pada penghujung tahun 1720 M Angkatan
Datuk Panglima Tuagik beserta Raja Kecil berlayarlah menuju Johor.
Siltan Johor pada waktu itu (Sultan Abdul Jalil IV) kurang memperhatikan
pertahanan Negerinya. Baginda telah hayut dalam kemewahan Istana saja,
sehingga Kerajaan Johor pada waktu itu sangat lemah. Lanun-lanun
bermaharaja lela dilautan dan pengaruh bangsa asing kian menghebat
disana. Dikalangan istana timbul perpecahan, ini disebabkan Sultan
sendiri bukan turunan dari Sultan Johor sebelumnya. Pada waktu Angaktan
Perang Datuk Panglima Tuagik serta Yang Dipertuan Raja Kecil sampai, di
Johor sedangkan pesta Keramaian genapnya sultan memerintah selama 20
(dua puluh) tahun.
Dari itu tidaklah diherankan apabila Angkatan dari Panglima Tuagik dan Yang Dipertuan Raja Kecil dengan mudahnya menyerbu masuk kedalam Istana. Pengawal Istana baru sadar dan langsung melaplorkan kepada Sultan bahwa Angkatan Dipertuan Raja Kecil datang menyerang dan sekarang berada di dalam Istana. Dan setelah sultan mengetahui hal tersebut beliau langsung melarikan diri melewati pintu belakang dan langsung masuk kedalam hutan di hulu Sungai Johor. Tetapi dengan tidak di sadarinya salah seorang dari panglima yang Dipertuan Raja Kecil yang bernama Gangsa Batuang mengikutinya dari belakang, atas perintah dari Yang Dipertuan Raja Kecil. Setelah berjalan haripun hampir petang, sampailah Sultan di sebuah Sungai. Karena waktu magrib sudah tiba, turunlah Sultan kedalam Sungai utnuk mengambil air wuduk, meniti pada batang yang menjulur kedalam sungai.
Sesampainya Sultan diujung batang Panglima Gangsa Batuang sampai pula disana, langsung Panglima tersebut menghunus kerisnya dan ditikamkannya kepada Sultan. Seletah itu ia pun pulang dan memberitahukan kepada Yang Dipertuan Raja Kecil atas peristiwa tersebut. Setelah Sultan Abdul Jalil IV mangkat beliau digelarkan Almarhum Mangkat Dibatang. Adapun Sultan ini mempunyai 3 (tiga) orang anak, satu laki-laki dan 2 (dua) permpuan Yaitu:
1. Raja Sulaiman Putra
2. Raja Kamariah Putri
3. Raja Mah Bungsu Putri
Putra dan Putri Sultan in tidak sempat melarikan diri, mereka tetap didalam Negeri Johor. Kemudian oleh Dipertuan Raja Kecil dijemput kembali kedalam Istana.
Setelah keadaan hampir reda/aman, Yang Dipertuan Raja Kecil dilantik menjadi sultan Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah (tahun 1720 M).
Beliau berniat untuk mengambil salah satu dari Putri Sultan Abdul Jalil IV utnuk dijadikan Permaisurinya. Adapun Putri yang dipilih, oleh Yang Dipertuan Raja Kecil yang pada waktu itu bergelar Sultan Jalil Rakhmad Syah ialah putri bungsu yang bernama Putri Mah Bungsu. Hal ini menyebabkan Raja Kamariah berkecil hati, sedangkan ia adalah Putri yang tua dalam keturunannya, “Kenapa pula yang bungsu dahulu dikawinkan” Akan tetapi Sultan Rakhmad Syah sendiri tidak mengetahui/menyangka sama sekali bahwa Raja Kamariah menaruh dendam kepadanya. Di dalam sejarah dikisahkan sesudah perkawinan Sultan Aabdul Jalil Rakhmad Syah dengan Raja Mah Bungsu pertentangan makin meruncing. Raja Kamariah mendesak abangnya (Raja Sulaiman), Supaya Sultan bdul Jalil Rakhmad Syah dibunuh dan merampas kembali tahta kerajaan Johor. Adapun Sultan Abdul jalil Rakhmad syah sudah mengetahui maksud jahat dari ipar-iparnya dengan perentaraan Istrinya. Tetapi Raja Kamariah tidak merasa puas dengan tindakan seperti ini, beliau mengirim utusan secara diam-diam ke Negeri Bugis, untuk meminta bantuan untuk kelencaran makusdnya ini. Raja Bugis setelah menerima utusan dan khabar berita dari Raja Kamariah itu, langsung menyetujuinya dan mengirimkan Putra-putra beliau. Salah seornag dari Putra beliau ini bernama Daeng Perani.
Dari itu tidaklah diherankan apabila Angkatan dari Panglima Tuagik dan Yang Dipertuan Raja Kecil dengan mudahnya menyerbu masuk kedalam Istana. Pengawal Istana baru sadar dan langsung melaplorkan kepada Sultan bahwa Angkatan Dipertuan Raja Kecil datang menyerang dan sekarang berada di dalam Istana. Dan setelah sultan mengetahui hal tersebut beliau langsung melarikan diri melewati pintu belakang dan langsung masuk kedalam hutan di hulu Sungai Johor. Tetapi dengan tidak di sadarinya salah seorang dari panglima yang Dipertuan Raja Kecil yang bernama Gangsa Batuang mengikutinya dari belakang, atas perintah dari Yang Dipertuan Raja Kecil. Setelah berjalan haripun hampir petang, sampailah Sultan di sebuah Sungai. Karena waktu magrib sudah tiba, turunlah Sultan kedalam Sungai utnuk mengambil air wuduk, meniti pada batang yang menjulur kedalam sungai.
Sesampainya Sultan diujung batang Panglima Gangsa Batuang sampai pula disana, langsung Panglima tersebut menghunus kerisnya dan ditikamkannya kepada Sultan. Seletah itu ia pun pulang dan memberitahukan kepada Yang Dipertuan Raja Kecil atas peristiwa tersebut. Setelah Sultan Abdul Jalil IV mangkat beliau digelarkan Almarhum Mangkat Dibatang. Adapun Sultan ini mempunyai 3 (tiga) orang anak, satu laki-laki dan 2 (dua) permpuan Yaitu:
1. Raja Sulaiman Putra
2. Raja Kamariah Putri
3. Raja Mah Bungsu Putri
Putra dan Putri Sultan in tidak sempat melarikan diri, mereka tetap didalam Negeri Johor. Kemudian oleh Dipertuan Raja Kecil dijemput kembali kedalam Istana.
Setelah keadaan hampir reda/aman, Yang Dipertuan Raja Kecil dilantik menjadi sultan Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah (tahun 1720 M).
Beliau berniat untuk mengambil salah satu dari Putri Sultan Abdul Jalil IV utnuk dijadikan Permaisurinya. Adapun Putri yang dipilih, oleh Yang Dipertuan Raja Kecil yang pada waktu itu bergelar Sultan Jalil Rakhmad Syah ialah putri bungsu yang bernama Putri Mah Bungsu. Hal ini menyebabkan Raja Kamariah berkecil hati, sedangkan ia adalah Putri yang tua dalam keturunannya, “Kenapa pula yang bungsu dahulu dikawinkan” Akan tetapi Sultan Rakhmad Syah sendiri tidak mengetahui/menyangka sama sekali bahwa Raja Kamariah menaruh dendam kepadanya. Di dalam sejarah dikisahkan sesudah perkawinan Sultan Aabdul Jalil Rakhmad Syah dengan Raja Mah Bungsu pertentangan makin meruncing. Raja Kamariah mendesak abangnya (Raja Sulaiman), Supaya Sultan bdul Jalil Rakhmad Syah dibunuh dan merampas kembali tahta kerajaan Johor. Adapun Sultan Abdul jalil Rakhmad syah sudah mengetahui maksud jahat dari ipar-iparnya dengan perentaraan Istrinya. Tetapi Raja Kamariah tidak merasa puas dengan tindakan seperti ini, beliau mengirim utusan secara diam-diam ke Negeri Bugis, untuk meminta bantuan untuk kelencaran makusdnya ini. Raja Bugis setelah menerima utusan dan khabar berita dari Raja Kamariah itu, langsung menyetujuinya dan mengirimkan Putra-putra beliau. Salah seornag dari Putra beliau ini bernama Daeng Perani.
Terjadilah
peperangan antara pengikut sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah dengan
pengikut Raja Sulaiman dan Raja Kamariah yang dibantu oleh rombongan
dari Negeri Bugis itu, yang dipimpin oleh Daeng Perani dan adik-adiknya.
Dalam pertempuran itu Raja Sulaiman dan Raja Kamariah beserta
pengikutnya mengalami kekalahan dan Daeng Perani tewas.
Melihat peristiwa ini dan dendam dari Raja Sulaiman ini yang tidak kunjung padam, ditambah pula dengan dari istri beliau (Raja Mah Bungsu), maka Sultan Abdul Jalil mad Syah bersedia berunding dan menyerahkan Kerajaan Johor Kepada ipar – iparnya yaitu Raja Sulaiman dan Raja Kamariah, asal saja mereka ini dapat menghapuskan rasa dendam dan permusuhan ini. Tetapi Raja Kamariah tidak dapat meanerima hal itu begitu saja dan dendam terus membara didalam hatinya.
Melihat peristiwa ini dan dendam dari Raja Sulaiman ini yang tidak kunjung padam, ditambah pula dengan dari istri beliau (Raja Mah Bungsu), maka Sultan Abdul Jalil mad Syah bersedia berunding dan menyerahkan Kerajaan Johor Kepada ipar – iparnya yaitu Raja Sulaiman dan Raja Kamariah, asal saja mereka ini dapat menghapuskan rasa dendam dan permusuhan ini. Tetapi Raja Kamariah tidak dapat meanerima hal itu begitu saja dan dendam terus membara didalam hatinya.
Melihat
hal tersebut berterusan, maka Sultan Abdul Jalil rakhmad Syah mengambil
suatu kesimpulan “Kalaulah hal ini akan berterus-terusan saja, maka
pada suatu saat nanti akan berkobar lagi peperangan yang sangat dahsyat,
antara pengikutnya dengan Raja Sulaiman dan Raja Kamariah dan
pengikutnya pula, sedangkan mereka ini adalah saudara-saudara dari
istrinya”. Dalam peperangan inilah Sultan Abdul Jalil Rakhamd Syah
meniggalkan Kerajaan Johor beserta isteri yang tercinta menuju Lingga,
pada tahun 1722 M.
Kita tinggalkan sementara kisah perjalanan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah (yang dipertuan Raja kecil) beserta isterinya yang bernama Raja Mah Bungsu menuju Lingga.Kita kembali mengikuti perkembangan Panglima Tuagik. Adapun Panglima Tuagik, setelah penabalan Yang Dipertuan Raja Kecil menjadi Sultan yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhamd Syah, ia pun kembali ke Bengkalis beserta Panglima-panglimanya dangan membawa kemenangan yang gemilang. Semenjak kepulangannya ini, beliau selalu saja berada didalam lancang anaknya yaitu Datuk Bandar Jamal. Disanalah ia menurunkan segala ilmunya, baik dalam siasat perang, maupun dalam ilmu kebatinan yang menyangkut tentang kegagahan seorang panglima.
Tidak beberapa lamanya kemudian pada tahun 1722 M, ibunda dari Datuk Bandar Jamal yaitu Encil Mas jatuh sakit dan langsung meninggal dunia. Sebagai pewaris pemerintahan di pangku oleh Datuk Bandar Jamal sebagai Datuk Bandar Bengkalis. Adapun isteri dari Datuk Bandar Jamal, anak dari Batin senderak yang bernama encik Mahiran melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Encik Ibrahim. Setelah Encik Ibrahim mencapai umur 15 tahun, ia dididik oleh kakeknya Panglima Tuagik dan ayah handanya yaitu Datuk Badar Jamal ilmu peperangan, ilmu kebatinan dan ilmu-ilmu lainnya. Bukan saja tiori tetapi langsung dengan prakteknya sekali,
Para pembaca yang budiman kita kembali yang Dipertuan Raja kecil. Beliau meninggal Johor dan terus ke Lingga. Pada tahun 1722 M, beliau berangkat ke Bengkalis bersama isterinya untuk menemui panglima Tuagik. Sesampainya di Bengkalis diceritakannya peristiwa-peristiwa yang menimpanya sewaktu peninggalan Datuk Panglima Tuagik pulang ke Bengkalis. Panglima Tuagik setelah mendengarkan penuturan dari Yang Dipertuan Raja Kecil itu, sangatlah takjub atas kemurnian hati beliau dalam arti kata beliau sanggup meninggalkan kerajaan yang baru saja direbutnya, demi menjaga ketentraman dan kesentosaan Kerajaan Johor dan Rakyatnya. Tak beberapa lama beliau di Bengkalis, maka beliau menyamapaikan niatnya kepada Panglima Taugik untuk mendirikan sebuah Kerjaaan baru. Sejak itu dibuatlah persiapan-persiapan untuk melakasanakan itu.
Pada permulaan tahun 1723 M, beliau teringat kembali kepada Bandar Sabar Aur di dalam Sungai Jantan dahulu, dan pernah beliau tinggalkan pesan bahwa beliau akan kembali ke Sabak Aur untuk menebus kemabali tali epoknya dengan darah Datuk Bandar Sabak Aur tersebut Kemudian maksudnya itu disampaikan kepada Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal. Mendengar perkataan itu Panglima Tuagik menjawab : harap Tuanku menangguhkan kepergian Tuanku itu, sebab kami berdua dengan anak kami akan ikut bersama Tuanku. Setelah kepergian ditunda, pada suatu hari yang Dipertuan Raja Kecil sedang berada di Pelabuhan Bengkalis, terlihat olehnya sampan sedang berkayuh di tengah, lalu dipanggilnya. Setelah sampan itu mendekat yang dipertuan Raja Kecil berkata “ Hei !! kamu hendak kemana ? dijawab orang yang berada dalam sampan “ kami dari Tanjung Padang, hendak pulang ke Selat Morong. Yang diepertuan Raja Kecil bertanya lagi “ Maukah kamu aku beri kerja dan pangkat ? orang didalam sampan menjawab “ mau, tetapi nantilah dahulu kami pulang dari Selat Morong, nanti kami akan datang lagi.
Antara beberapa minggu, datanglah mereka menemui yang dipertuan Raja Kecil. Satu diantara perahu kamu ditugaskan membawa rakit dan yang satu lagi untuk meretas (menetak) kayu yang terdapat di pinggir Sungai. Dan sebagai kepala dari yang membawa rakit aku namakan Batin Rakit (Batin Akit). Dari permulaan inilah adanya keturunan Batin Rakit dan Batin Ratas.
Kita tinggalkan sementara kisah perjalanan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah (yang dipertuan Raja kecil) beserta isterinya yang bernama Raja Mah Bungsu menuju Lingga.Kita kembali mengikuti perkembangan Panglima Tuagik. Adapun Panglima Tuagik, setelah penabalan Yang Dipertuan Raja Kecil menjadi Sultan yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhamd Syah, ia pun kembali ke Bengkalis beserta Panglima-panglimanya dangan membawa kemenangan yang gemilang. Semenjak kepulangannya ini, beliau selalu saja berada didalam lancang anaknya yaitu Datuk Bandar Jamal. Disanalah ia menurunkan segala ilmunya, baik dalam siasat perang, maupun dalam ilmu kebatinan yang menyangkut tentang kegagahan seorang panglima.
Tidak beberapa lamanya kemudian pada tahun 1722 M, ibunda dari Datuk Bandar Jamal yaitu Encil Mas jatuh sakit dan langsung meninggal dunia. Sebagai pewaris pemerintahan di pangku oleh Datuk Bandar Jamal sebagai Datuk Bandar Bengkalis. Adapun isteri dari Datuk Bandar Jamal, anak dari Batin senderak yang bernama encik Mahiran melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Encik Ibrahim. Setelah Encik Ibrahim mencapai umur 15 tahun, ia dididik oleh kakeknya Panglima Tuagik dan ayah handanya yaitu Datuk Badar Jamal ilmu peperangan, ilmu kebatinan dan ilmu-ilmu lainnya. Bukan saja tiori tetapi langsung dengan prakteknya sekali,
Para pembaca yang budiman kita kembali yang Dipertuan Raja kecil. Beliau meninggal Johor dan terus ke Lingga. Pada tahun 1722 M, beliau berangkat ke Bengkalis bersama isterinya untuk menemui panglima Tuagik. Sesampainya di Bengkalis diceritakannya peristiwa-peristiwa yang menimpanya sewaktu peninggalan Datuk Panglima Tuagik pulang ke Bengkalis. Panglima Tuagik setelah mendengarkan penuturan dari Yang Dipertuan Raja Kecil itu, sangatlah takjub atas kemurnian hati beliau dalam arti kata beliau sanggup meninggalkan kerajaan yang baru saja direbutnya, demi menjaga ketentraman dan kesentosaan Kerajaan Johor dan Rakyatnya. Tak beberapa lama beliau di Bengkalis, maka beliau menyamapaikan niatnya kepada Panglima Taugik untuk mendirikan sebuah Kerjaaan baru. Sejak itu dibuatlah persiapan-persiapan untuk melakasanakan itu.
Pada permulaan tahun 1723 M, beliau teringat kembali kepada Bandar Sabar Aur di dalam Sungai Jantan dahulu, dan pernah beliau tinggalkan pesan bahwa beliau akan kembali ke Sabak Aur untuk menebus kemabali tali epoknya dengan darah Datuk Bandar Sabak Aur tersebut Kemudian maksudnya itu disampaikan kepada Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal. Mendengar perkataan itu Panglima Tuagik menjawab : harap Tuanku menangguhkan kepergian Tuanku itu, sebab kami berdua dengan anak kami akan ikut bersama Tuanku. Setelah kepergian ditunda, pada suatu hari yang Dipertuan Raja Kecil sedang berada di Pelabuhan Bengkalis, terlihat olehnya sampan sedang berkayuh di tengah, lalu dipanggilnya. Setelah sampan itu mendekat yang dipertuan Raja Kecil berkata “ Hei !! kamu hendak kemana ? dijawab orang yang berada dalam sampan “ kami dari Tanjung Padang, hendak pulang ke Selat Morong. Yang diepertuan Raja Kecil bertanya lagi “ Maukah kamu aku beri kerja dan pangkat ? orang didalam sampan menjawab “ mau, tetapi nantilah dahulu kami pulang dari Selat Morong, nanti kami akan datang lagi.
Antara beberapa minggu, datanglah mereka menemui yang dipertuan Raja Kecil. Satu diantara perahu kamu ditugaskan membawa rakit dan yang satu lagi untuk meretas (menetak) kayu yang terdapat di pinggir Sungai. Dan sebagai kepala dari yang membawa rakit aku namakan Batin Rakit (Batin Akit). Dari permulaan inilah adanya keturunan Batin Rakit dan Batin Ratas.
Kemudian
setelah sampai waktu yang telah dijanjikan oleh Panglima Tuagik,
berangkatlah mereka menuju kuala Sungai Jantan. Sesampai nya di Sabak
Aur, diberitahulah kepada Datuk Bandar Sabak Aur bahwa Yang Dipertuan
Raja Kecil bersama-sama Panglima Tuagik dan anaknya Datuk Bandar Jamal,
datang menebus janjinya. Alangkah terkejudnya Datuk Bandar Sabak Aur
mendengar berita itu. Panglima Tuagik bermohon, biarlah ia sendiri yang
mengambil darah Datuk Bandar Sabak Aur itu, dengan cara menusuk ujung
jari dari Datuk tersebut, dan mengeluarkan darah. Kemudian darah
tersebut dimasukkan kedalam Cembulan Emas, lalu dikecap dengan lidah
oleh Yang Dipertruan Raja Kecil. Selesai sudah acara tersebut mereka
bermaaf-maafan dan mengikat tali persaudaraan. Kemudian Yang Dipertuan
Raja Kecil menyampai hajatnya untuk mencari tempat untuk dijadikan
Istana. Setelah menemukan tempat yang baik untuk dijadikan negeri,
Panglima Tuagik bermohon diri untuk pulang ke Bengkalis. Disanalah Yang
Dipertuan Raja Kecil naik kedarat dan memperhatikan keadaan sekeliling
sambil berkata : “ Inilah tempat yang sebaik-baiknya untuk dijadikan
Negeri ( yaitu Buantan).
Kemudian disuruhnya orang-orang menebang hutan, alangkah sibuknya pada waktu itu. Bunyi kayu-kayu besar yang ditumbangkan sehingga orang yang hilir mudik di Sungai merasa heran sekali, dan mereka singah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apabila dilihat oleh Yang Dipertuan Raja Kecil orang ramai, Beliau berkata “Kamu sekali maukah kami upah untuk menebang kayu hutan ini” mereka menjawab “ Mau saja, asal upahnya bersesuaian “. Mendengar itu Yang Dipertuan Raja Kecilpun mengeluarkan uang Emas dari pundi-pundinya. Alangkah terkejutnya mereka melihat uang emas dan pundi-pundi yang dipegang oleh Yang Dipertuan Raja Kecil itu. Sebab biasanya orang yang memakai pundi-pundi seperti itu adalah keturunan dari orang-orang besar dari Suatu Kerajaan. Dugaan mereka tepat sekali, setelah mendengar keterangan pengikut-pengikut dari Yang Dipertuan Raja Kecil, bahwa beliau adalah Sultan Johor yang akan membuat suatu Negeri baru. Setelah mendengar perkataan itu mereka semua berjanji, bahwa mesreka sanggup berkorban dan bekerja demi untuk Sultan Mereka. Antar bebrapa bulan mereka bekerja Siaplah Istana benerta rumah dan balai-balainya. Kemudian yang Dipertuan Raja Kecil pun hendak meresmikan Kerajaannya. Oleh pengikutnya yang dibawa dari Pagaruyung dahulu menyatakan “Tuanku, jika Tuanku mau meresmikan Kesultanan Tuanku, haruslah ada persetujuan hamba rakyat Tuanku, dan harus disaksikan kepala Pemerintahan dari luar pemerintahan Tuanku, juga dengan persetujuan dan pengangkatan dari orang-orang besar Tuanku. Lalu dijemputlah Panglima Tuagik serta Datuk Bandar Jamal beserta beberapa orang lainnya.
Setalah hadir semuanya, maka diresmikanlah kesultanan ini. Lalu berdirilah Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal beserta orang-orang besar yang dibawanya dari Pagaruyung, bahwa yang Dipertuan Raja Kecil di gelar dengan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah , Sultan Siak I tahun 1723 M.
JANJI SETIA ANTARA PANGLIMA TUAGIK
DAN SULTAN SIAK SRI INDRAPURA
Setelah itu Sultan menyatakan pula “Dengan ini dari permulaan hari ini hingga sampai pemerintahan anak cucu kami nantinya, harus tetap setia sebagaimana yang kita saksikan pada hari ini. Pengangkatan anak cucu kami menjadi Sultan nanti hendaklah digelar oleh turunan Panglima Tuagik dan turunan Datuk Bandar Jamal, dan disetujui oleh orang-orang besar kerajaan Siak Sri Indrapura“. Kemudian segala yang hadir serentak menjawab “Daulat Tuanku, Daulat Tuanku, Daulat Tuanku. Adapun orang-orang besar Kerajaan Siak Sri Indrapura, untuk mendampingi Sultan dalam melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari yang merupakan kepada persukuan, Kepala suku digelar dengan Datuk antara lain :
1. Datuk Lima Puluh, yang dibawanya dari Pagaruyung yang bersama Bebas Sri Bijuangsa.
2. Datuk Pesisir, ialah Syawal Sri Dewa Raja.
3. Datuk Tanah Datar bernama Syamsudin Sri Perkiraan.
4. Datuk Kampar bernama Hamzah, gelar Buyung Ancah (Putra Titah Sungai Tarap).
Adapun Datuk yang berempat ini dinamakan Datuk-datuk empat suku. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah adalah Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama mempunyai tiga orang Putra yaitu:
1. Tengku Alam bergelar Yang Dipertuan Muda.
2. Tengku Ngah, meninggal sebelum dewasa.
3. Tengku Buang Asmara bergelar Tengku Mahkota.
Menjelang akhir hayatnya Sultan ini sering-sering sakit. Dalam keadan beliau yang sangat uzur itu terjadi pula perselisihan antara kedua Putra beliau, sampai-sampai meletuskan perang saudara. Dengan adanya hal tersebu Sultan yang sedang sakit itu makin bertambah sakitnya. Untuk selanjutnya dipanggilnya kedua Putranya, diwaktu itulah beliau berkata : “ Jika kamu tidask mau menurut titahku, pergilah kamu dari Negeri yang aku dirikan dengan susah payah ini. Negeri ini bukanlah untk tempat pertarungan kamu“ .
Kemudian disuruhnya orang-orang menebang hutan, alangkah sibuknya pada waktu itu. Bunyi kayu-kayu besar yang ditumbangkan sehingga orang yang hilir mudik di Sungai merasa heran sekali, dan mereka singah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apabila dilihat oleh Yang Dipertuan Raja Kecil orang ramai, Beliau berkata “Kamu sekali maukah kami upah untuk menebang kayu hutan ini” mereka menjawab “ Mau saja, asal upahnya bersesuaian “. Mendengar itu Yang Dipertuan Raja Kecilpun mengeluarkan uang Emas dari pundi-pundinya. Alangkah terkejutnya mereka melihat uang emas dan pundi-pundi yang dipegang oleh Yang Dipertuan Raja Kecil itu. Sebab biasanya orang yang memakai pundi-pundi seperti itu adalah keturunan dari orang-orang besar dari Suatu Kerajaan. Dugaan mereka tepat sekali, setelah mendengar keterangan pengikut-pengikut dari Yang Dipertuan Raja Kecil, bahwa beliau adalah Sultan Johor yang akan membuat suatu Negeri baru. Setelah mendengar perkataan itu mereka semua berjanji, bahwa mesreka sanggup berkorban dan bekerja demi untuk Sultan Mereka. Antar bebrapa bulan mereka bekerja Siaplah Istana benerta rumah dan balai-balainya. Kemudian yang Dipertuan Raja Kecil pun hendak meresmikan Kerajaannya. Oleh pengikutnya yang dibawa dari Pagaruyung dahulu menyatakan “Tuanku, jika Tuanku mau meresmikan Kesultanan Tuanku, haruslah ada persetujuan hamba rakyat Tuanku, dan harus disaksikan kepala Pemerintahan dari luar pemerintahan Tuanku, juga dengan persetujuan dan pengangkatan dari orang-orang besar Tuanku. Lalu dijemputlah Panglima Tuagik serta Datuk Bandar Jamal beserta beberapa orang lainnya.
Setalah hadir semuanya, maka diresmikanlah kesultanan ini. Lalu berdirilah Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal beserta orang-orang besar yang dibawanya dari Pagaruyung, bahwa yang Dipertuan Raja Kecil di gelar dengan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah , Sultan Siak I tahun 1723 M.
JANJI SETIA ANTARA PANGLIMA TUAGIK
DAN SULTAN SIAK SRI INDRAPURA
Setelah itu Sultan menyatakan pula “Dengan ini dari permulaan hari ini hingga sampai pemerintahan anak cucu kami nantinya, harus tetap setia sebagaimana yang kita saksikan pada hari ini. Pengangkatan anak cucu kami menjadi Sultan nanti hendaklah digelar oleh turunan Panglima Tuagik dan turunan Datuk Bandar Jamal, dan disetujui oleh orang-orang besar kerajaan Siak Sri Indrapura“. Kemudian segala yang hadir serentak menjawab “Daulat Tuanku, Daulat Tuanku, Daulat Tuanku. Adapun orang-orang besar Kerajaan Siak Sri Indrapura, untuk mendampingi Sultan dalam melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari yang merupakan kepada persukuan, Kepala suku digelar dengan Datuk antara lain :
1. Datuk Lima Puluh, yang dibawanya dari Pagaruyung yang bersama Bebas Sri Bijuangsa.
2. Datuk Pesisir, ialah Syawal Sri Dewa Raja.
3. Datuk Tanah Datar bernama Syamsudin Sri Perkiraan.
4. Datuk Kampar bernama Hamzah, gelar Buyung Ancah (Putra Titah Sungai Tarap).
Adapun Datuk yang berempat ini dinamakan Datuk-datuk empat suku. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah adalah Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama mempunyai tiga orang Putra yaitu:
1. Tengku Alam bergelar Yang Dipertuan Muda.
2. Tengku Ngah, meninggal sebelum dewasa.
3. Tengku Buang Asmara bergelar Tengku Mahkota.
Menjelang akhir hayatnya Sultan ini sering-sering sakit. Dalam keadan beliau yang sangat uzur itu terjadi pula perselisihan antara kedua Putra beliau, sampai-sampai meletuskan perang saudara. Dengan adanya hal tersebu Sultan yang sedang sakit itu makin bertambah sakitnya. Untuk selanjutnya dipanggilnya kedua Putranya, diwaktu itulah beliau berkata : “ Jika kamu tidask mau menurut titahku, pergilah kamu dari Negeri yang aku dirikan dengan susah payah ini. Negeri ini bukanlah untk tempat pertarungan kamu“ .
Berdasarkan
ucapan inilah Putra beliau yang tertua yaitu Tengku Alam yang bergelar
Yang Dipetuan Muda, meninggalkan Buantan. Hal ini pulalah yang
menyebabkan penyakit Sultan bertambah parah dan pada tahun 1746 M
mangkatlah beliau. Dan setelah mangkat digelarlah beliau Almarhum
Buantan (Mahum Buantan). Sebagaimana yang telah diikrarkan oleh Sultan
diwaktu pengangkatannya menjadi Sultan yang pertama, Pengngkatan
Sultan-sultan Siak Sri Indrapura hendaklah digelar oleh keturunan
Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal juga dihadiri oleh Datuk-datuk
yang berada di Kerajaan Siak Sri Indrapura. Maka dari itu dijemputlah
Datuk Panglima Tuagik serta Datuk Bandar Jamal, untuk menghadiri dan
memberi gelar atas penebotan Tengku Buang Asmara menjadi Sultan Siak Sri
Indrapura yang kedua dengan gelar Sultan Muhammad Abdul Muzafar Syah
tahun 1746 M. adapun kemangkatan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah
Ayahndanya, adalah akibat dari perselisihannya dengan kekandanya Tengku
Alam dahulu, dan ini menjadi penyesalannya yang tidak berkesudahan.
Dengan sedih beliau mengenangkan kepergian kekandanya yang tidak terdengar kabar beritanya. Untuk menghilangkan kenangan pahit dan memilukan ini, beliau memutuskan untuk membuat Negeri baru dan memindahkan ibu Kerajaan kesatu tempat yang lain. Sekitar tahun 1750 M, dibangunlah satu negeri pada suatu tempat yang bernama MEMPURA. Setelah selesai di bangun, maka pindahlah Ibu Kerajaan ke Mempura Besar Ini. Sejak itulah Sungai Jantan berubah namanya menjadi Sungai Siak, karena didalam Sungai Mempura besar banyak batang Siak-siak.
Adapun pada masa itu kuku Belanda telah menghunjam di semenanjung Tanah Melayu dan oleh Sultan Johor yang telah mempunyai dendam terhadap Yang Dipertuan Raja Kecil dahulu memberi isyarat kepada Belanda supaya menyerang dan menguasai kerajaan baru ini, sebagai pewaris dari Yang dipertuan Raja Kecil.Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu oleh Belanda, dengan cara halus Belanda mengirimkan utusan kepada Sultan Siak, bermohon diberikan kesempatan untuk mengadakan hubungan dagang dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Sultan Siak. Dari semenjak itulah kapal-kapal dagang Belanda mengangkut hasil bumi daerah ini sebagaimana biasa sifat dan taktik penjajah, setelah hubungan erat dengan Sultan, sekali lagi Belanda bermohon kepada Sultan agar diperolehkan mendirikan sebuah Loji di Pulau Guntung, dekat dengan Sungai Siak. Sultan sangat terpengaruh dengan bujukan dari Belanda ini, dan menyetujuinya pula.
Pada tahun 1756 M, berdirilah Loji Belanda di Pulau Guntung itu Pada mulanya Belanda bersikap manis dan lunak, bahkan merendah, tetapi setelah Lojinya kuat dan kokoh dengan peralatan perang maka mulailah kelihatan belangnya. Terhadap pedagang-pedagang yang melewati Lojinya dikenakan pajak kepala (Pancung Alas). Para Nelayan harus membawa hasil tangkapan ikannya kepada Belanda. Mulailah kegelisahan dikalangan rakyat, terutama dari Bengkalis dan sekitarnya.
Kita kembali kepada Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal. Setelah selesai acara penobatan Tengku Buang Asmara menjadi Sultan Siak maka Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal pulang ke Bengkalis. Pada waktu itu negeri Bengkalis sangat aman dan makmur, demikian pula Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal serta anaknya Encik Ibrahim senantiasa bersukaria dan berlatih cara berperang didalam Lancangannya.
Pada suatu hari Panglima Tuagik menasehatkan kepada anak dan cucunya Encik Ibrahim: “ Kalau kita sebagai kepala Pemerintahan jangan sekali-kali mungkir janji, ikrar kita hendaklah dimuliakan. Sebagai amanah dariku, peliharalah segala senajata-senjata yang telah kutinggalkan kepadamu dan keturunanku yang akan datang yaitu beberapa batang mariam, terutama meriam Sumpitan Bone dan beberapa batang keris antara lain Keris Tabe Alam, Keris Tuasik, Keris Sumarik dan Keris Gambar. Adapun keris Tabe Alam artinya; seluruh alam tunduk padanya, dengan kata lain tidak ada sesuatu senjatapun yang bisa menandinginya. Barangsiapa yang memegang/memakainya ia akan menjadi kepala dari segala Panglima. Adapun Keris Tuasik, barang siapa yang memakainya ia akan menjadi orang besar diantara negeri itu. Satu lagi pesanku kepadamu dan anak cucuku dikemudian hari jangan membawa luka dibelakang berarti lari. Kalau berlaku juga hal tersebut berarti dia bukanlah keturunanku “demikianlah beberapa pesanan dan amanah dari Panglima Tuagik kepda cucunya Encik Ibrahim. Tidak betapa lama Panglima Taugik masuk dalam Kholawatnya. Ia tidak keluar beberapa lamanya dari tempat itu, sehingga menimbulkan rsa ingin tahu didalam hati cucunya Encik Ibrahim. Pada suatu hari pergilah Encik Ibrahim mengintip datuknya yang sudah sekian lama tidak keluar, alangkah terkejutnya ia melihat Datuknya tidak ada lagi. Dengan hati yang kesal ia pergi memberitahukan hal ini kepada ayahnya Datuk Bandar Jamal. Kemudian mereka bersama-sama pergi ketgempat itu, benar hal itu terjdi pada diri Panglima Taugik.
Peristiwa ini berlaku pada tahun 1750 M, dengan adanya kejadian ini genaplah umur Panglima Taugik 100 tahun (tiga puluh tahun ia dibesarkan di Sulawesi dan tujuh puluh tahun ia berada di Bengkalis.).
Adapun Datuk Bandar Jamal sepeninggalan ayahndanya ia tetap menjalankan pemerintahan sebagimana bisa, hubungan dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura tetap berjalan sebagaimana biasa. Pada waktu Datuk Bandar Jamal mengadakan perondaan mengelilingi Pulau Bengkalis, mengarungi Selat Malaka dan Selat Bengkalis dengan Lancang Kuningnya (Lancang Kuning ini ialah nama dan benda kenaikan raja Mahmud Raja Muda, Raja Ikan Terubuk, yang dicontoh oleh Datuk Bandar Jamal tatkala Raja Muda ini datang menemui Datuk Bandar Jamal didalam mimpinya).
Sesampainya diujung Pulau Bengkalis disebelah Barat, bertemulah dengan sebuah kapal Belanda. Oleh Datuk Bandar Jamal diperintahkannyalah juru mudi Lancangnya menuju ke Kapal dagang Belanda itu. Berlayarlah Lancang Kuning Datuk Bandar Jamal dengan megahnya dengan Lambang Bendera Hijau Lumut. Setelah berdampingna, ditanyalah oleh Datuk Bandar Jamal tujuan dan maksud kapal Belanda tersebut. Pertanyaan itu dijawab oleh orang yang didalam kapal Belanda itu bahwa ia adalah utusan Belanda yang berada di Johor untuk menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Selesai mengadakan tanya jawab dengan Belanda itu, maka kapal itupun berpisah dengan tujuannya masing-masing. Didalam perjalanan Datuk Bandar Jamal bercerita dengan Panglima-panglimanya yang berada didalam kapalnya itu (Lancang), bahwa Siak nantinya pasti dijajah oleh Belanda. Kita mau tidak mau akan menghadapi peperangan dengan Belanda.
Dugaan Datuk Bandar Jamal itu tepat sekali, pada tahun 1760 M datanglah utusan dari Siak Sri Indrapura, bahwa Sultan mengharap sangat bantuan yang sepenuhnya dari Datuk Bandar Jamal untuk meyerang Loji Belanda yang berada di Pulau Guntung. Didalam surat itu dinyatakan juga bahwa Belanda mengabuli Kedaulatan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kami telah mengirimkan wakil untuk menegur perbuatan Belanda yang kurang menyenangkan itu. Maka untuk itu kami Sultan Siak Sri Indrapura, mengambil keputusan untuk menyerangnya. Tetapi meningat Loji Belanda itu mempunyai persenjataan dan peralatan yang tangguh, maka penyerangan hendaklah diatur dengan licin dan sebaik-baiknya.
Dinyatakan juga didalam surat itu cara-cara yang telah diatur untuk penyerangan itu sebagai berikut :
Kami Sultan Siak Sri Indrapura mengirimkan surat kepada Belanda yang menyatakan bahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura akan mengadakan perundingan persahabatan yang lebih erat dengan Belanda dan mengantarkan berupa hadiah yang akan diantarkan oleh Sultan Siak sendiri beserta seorang anaknya yang masih kecil. Dalam pada itu Panglima-panglima Siak akan menyamar orang upahan untuk mengangkat talam-talam yang berisikan hadiah itu, yang sebenarnya isi talam itu ialah senjata-senjata yang diperlukan dalam penyerangan itu nanti. Demikianlah rencana kami dari Siak, selanjutnya kami mengharapkan kepada Datuk Bandar Jamal setelah tiba saat yang ditentukan datanglah dan adakan penyerangan besar-besaran kepada Loji Belanda itu setelah surat dibaca Datuk Bandar Jamal menjawab: Insya Allah, kami dari Bengkalis tetap membantu dan melaksanakan sebagaimana yang dimaksudkan Sultan.
Sepeninggal utusan itu Datuk Bandar Jamal mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi peperangan dengan Belanda itu. Kerajaan Siak pun mengirimkan utusannya kepada Belanda yang berada di Guntung, Belanda yang tidak menduga sama sekali, bahwa Sultan Siak Sri Indrapura mau bersahabat dengan Belanda, apalagi memberi hadiah. Mereka menerima baik maksud Sultan ini, tetapi dengan syarat sebagai berikut :
1. Belanda menerima kehendak Sultan untuk mengunjungi Loji Belanda di Guntung, tetapi hendaklah melarang orang-orang membawa senjata tajam mengunjungi Loji.
2. Seluruh kapal-kapal Sultan tidak boleh merapat di dermaga Loji. Orang-orang Siak di jemput dengan sekoci, oleh Serdadu-serdadu Belanda.
Syarat ini diterima oleh Sultan demi kelancaran siasat tersebut.
Pada penghujung tahun 1760 M, tepat dengan janji Sultan kepada Datuk Bandar Jamal itu berangkatlah Lancang Kuning Murai Batu Datuk Bandar Jamal menuju Kuala Siak, dan berlindung disana sambil menunggu kode/isyarat bunyi dari Sultan. Serentak dengan itu Angkatan Sultan pun berangkat juga dari Siak menuju Loji Belanda yang berada di Guntung. Dalam perjalanan itu, sebahagian dari panglima-panglima Siak naik ke darat untuk mengadakan penyerangan dari daratan. Sultan dengan kenderaannya yang bernama Lancang Kuning Sri Buantan meneruskan perjalanannya menuju Loji Belanda tersebut.
Kedatangan Sultan itu disambut oleh Belanda dengan senang hati. Seluruh pengiring Sultan dipersilakan naik kedarat, lengkap dengan talam-talam yang berisikan hadiah. Karena hari telah hampir mendekati kegelapan senja dan masuk waktu magrib. Maka orang-orang Siak melakukan sembahyang magrib diluar Benteng Belanda itu. Selesai sembahyang magrib, barulah diadakan pertemuan antara kedua belah pihak. Komandan Loji yang merasakan dirinya berkuasa penuh di daerah itu, maka timbullah rasa keangkuhannya kepada Sultan, dan berkata : “Tuanku Sultan, sekarang Tuanku sudah berada di Benteng kami, sebaiknya Sultan menurut saja apa yang kami tentukan. Mendengar perkataan orang Belanda, Sultan tetap tenang saja. Walaupun di dalam hatinya berkecamuk perasaan ingin bertindak , tepat pada waktu yang ditentukan Sultan memberi aba-aba kepada seluruh pengiringnya, baik yang ikut secara nyata maupun yang bersembunyi di dalam semak belukar di sekitar Benteng itu : “Serbu!!!, serang Belanda!! Serentak dengan seruan itu Sultan menghunus kerisnya dan langsung menghujum ke dada komando Loji dan terjadilah pertempuran yang kacau balau. Datuk Bandar Jamal setelah hari hampir gelap, Lancang Kuning mendekati Loji.
Dengan sedih beliau mengenangkan kepergian kekandanya yang tidak terdengar kabar beritanya. Untuk menghilangkan kenangan pahit dan memilukan ini, beliau memutuskan untuk membuat Negeri baru dan memindahkan ibu Kerajaan kesatu tempat yang lain. Sekitar tahun 1750 M, dibangunlah satu negeri pada suatu tempat yang bernama MEMPURA. Setelah selesai di bangun, maka pindahlah Ibu Kerajaan ke Mempura Besar Ini. Sejak itulah Sungai Jantan berubah namanya menjadi Sungai Siak, karena didalam Sungai Mempura besar banyak batang Siak-siak.
Adapun pada masa itu kuku Belanda telah menghunjam di semenanjung Tanah Melayu dan oleh Sultan Johor yang telah mempunyai dendam terhadap Yang Dipertuan Raja Kecil dahulu memberi isyarat kepada Belanda supaya menyerang dan menguasai kerajaan baru ini, sebagai pewaris dari Yang dipertuan Raja Kecil.Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu oleh Belanda, dengan cara halus Belanda mengirimkan utusan kepada Sultan Siak, bermohon diberikan kesempatan untuk mengadakan hubungan dagang dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Sultan Siak. Dari semenjak itulah kapal-kapal dagang Belanda mengangkut hasil bumi daerah ini sebagaimana biasa sifat dan taktik penjajah, setelah hubungan erat dengan Sultan, sekali lagi Belanda bermohon kepada Sultan agar diperolehkan mendirikan sebuah Loji di Pulau Guntung, dekat dengan Sungai Siak. Sultan sangat terpengaruh dengan bujukan dari Belanda ini, dan menyetujuinya pula.
Pada tahun 1756 M, berdirilah Loji Belanda di Pulau Guntung itu Pada mulanya Belanda bersikap manis dan lunak, bahkan merendah, tetapi setelah Lojinya kuat dan kokoh dengan peralatan perang maka mulailah kelihatan belangnya. Terhadap pedagang-pedagang yang melewati Lojinya dikenakan pajak kepala (Pancung Alas). Para Nelayan harus membawa hasil tangkapan ikannya kepada Belanda. Mulailah kegelisahan dikalangan rakyat, terutama dari Bengkalis dan sekitarnya.
Kita kembali kepada Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal. Setelah selesai acara penobatan Tengku Buang Asmara menjadi Sultan Siak maka Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal pulang ke Bengkalis. Pada waktu itu negeri Bengkalis sangat aman dan makmur, demikian pula Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal serta anaknya Encik Ibrahim senantiasa bersukaria dan berlatih cara berperang didalam Lancangannya.
Pada suatu hari Panglima Tuagik menasehatkan kepada anak dan cucunya Encik Ibrahim: “ Kalau kita sebagai kepala Pemerintahan jangan sekali-kali mungkir janji, ikrar kita hendaklah dimuliakan. Sebagai amanah dariku, peliharalah segala senajata-senjata yang telah kutinggalkan kepadamu dan keturunanku yang akan datang yaitu beberapa batang mariam, terutama meriam Sumpitan Bone dan beberapa batang keris antara lain Keris Tabe Alam, Keris Tuasik, Keris Sumarik dan Keris Gambar. Adapun keris Tabe Alam artinya; seluruh alam tunduk padanya, dengan kata lain tidak ada sesuatu senjatapun yang bisa menandinginya. Barangsiapa yang memegang/memakainya ia akan menjadi kepala dari segala Panglima. Adapun Keris Tuasik, barang siapa yang memakainya ia akan menjadi orang besar diantara negeri itu. Satu lagi pesanku kepadamu dan anak cucuku dikemudian hari jangan membawa luka dibelakang berarti lari. Kalau berlaku juga hal tersebut berarti dia bukanlah keturunanku “demikianlah beberapa pesanan dan amanah dari Panglima Tuagik kepda cucunya Encik Ibrahim. Tidak betapa lama Panglima Taugik masuk dalam Kholawatnya. Ia tidak keluar beberapa lamanya dari tempat itu, sehingga menimbulkan rsa ingin tahu didalam hati cucunya Encik Ibrahim. Pada suatu hari pergilah Encik Ibrahim mengintip datuknya yang sudah sekian lama tidak keluar, alangkah terkejutnya ia melihat Datuknya tidak ada lagi. Dengan hati yang kesal ia pergi memberitahukan hal ini kepada ayahnya Datuk Bandar Jamal. Kemudian mereka bersama-sama pergi ketgempat itu, benar hal itu terjdi pada diri Panglima Taugik.
Peristiwa ini berlaku pada tahun 1750 M, dengan adanya kejadian ini genaplah umur Panglima Taugik 100 tahun (tiga puluh tahun ia dibesarkan di Sulawesi dan tujuh puluh tahun ia berada di Bengkalis.).
Adapun Datuk Bandar Jamal sepeninggalan ayahndanya ia tetap menjalankan pemerintahan sebagimana bisa, hubungan dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura tetap berjalan sebagaimana biasa. Pada waktu Datuk Bandar Jamal mengadakan perondaan mengelilingi Pulau Bengkalis, mengarungi Selat Malaka dan Selat Bengkalis dengan Lancang Kuningnya (Lancang Kuning ini ialah nama dan benda kenaikan raja Mahmud Raja Muda, Raja Ikan Terubuk, yang dicontoh oleh Datuk Bandar Jamal tatkala Raja Muda ini datang menemui Datuk Bandar Jamal didalam mimpinya).
Sesampainya diujung Pulau Bengkalis disebelah Barat, bertemulah dengan sebuah kapal Belanda. Oleh Datuk Bandar Jamal diperintahkannyalah juru mudi Lancangnya menuju ke Kapal dagang Belanda itu. Berlayarlah Lancang Kuning Datuk Bandar Jamal dengan megahnya dengan Lambang Bendera Hijau Lumut. Setelah berdampingna, ditanyalah oleh Datuk Bandar Jamal tujuan dan maksud kapal Belanda tersebut. Pertanyaan itu dijawab oleh orang yang didalam kapal Belanda itu bahwa ia adalah utusan Belanda yang berada di Johor untuk menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Selesai mengadakan tanya jawab dengan Belanda itu, maka kapal itupun berpisah dengan tujuannya masing-masing. Didalam perjalanan Datuk Bandar Jamal bercerita dengan Panglima-panglimanya yang berada didalam kapalnya itu (Lancang), bahwa Siak nantinya pasti dijajah oleh Belanda. Kita mau tidak mau akan menghadapi peperangan dengan Belanda.
Dugaan Datuk Bandar Jamal itu tepat sekali, pada tahun 1760 M datanglah utusan dari Siak Sri Indrapura, bahwa Sultan mengharap sangat bantuan yang sepenuhnya dari Datuk Bandar Jamal untuk meyerang Loji Belanda yang berada di Pulau Guntung. Didalam surat itu dinyatakan juga bahwa Belanda mengabuli Kedaulatan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kami telah mengirimkan wakil untuk menegur perbuatan Belanda yang kurang menyenangkan itu. Maka untuk itu kami Sultan Siak Sri Indrapura, mengambil keputusan untuk menyerangnya. Tetapi meningat Loji Belanda itu mempunyai persenjataan dan peralatan yang tangguh, maka penyerangan hendaklah diatur dengan licin dan sebaik-baiknya.
Dinyatakan juga didalam surat itu cara-cara yang telah diatur untuk penyerangan itu sebagai berikut :
Kami Sultan Siak Sri Indrapura mengirimkan surat kepada Belanda yang menyatakan bahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura akan mengadakan perundingan persahabatan yang lebih erat dengan Belanda dan mengantarkan berupa hadiah yang akan diantarkan oleh Sultan Siak sendiri beserta seorang anaknya yang masih kecil. Dalam pada itu Panglima-panglima Siak akan menyamar orang upahan untuk mengangkat talam-talam yang berisikan hadiah itu, yang sebenarnya isi talam itu ialah senjata-senjata yang diperlukan dalam penyerangan itu nanti. Demikianlah rencana kami dari Siak, selanjutnya kami mengharapkan kepada Datuk Bandar Jamal setelah tiba saat yang ditentukan datanglah dan adakan penyerangan besar-besaran kepada Loji Belanda itu setelah surat dibaca Datuk Bandar Jamal menjawab: Insya Allah, kami dari Bengkalis tetap membantu dan melaksanakan sebagaimana yang dimaksudkan Sultan.
Sepeninggal utusan itu Datuk Bandar Jamal mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi peperangan dengan Belanda itu. Kerajaan Siak pun mengirimkan utusannya kepada Belanda yang berada di Guntung, Belanda yang tidak menduga sama sekali, bahwa Sultan Siak Sri Indrapura mau bersahabat dengan Belanda, apalagi memberi hadiah. Mereka menerima baik maksud Sultan ini, tetapi dengan syarat sebagai berikut :
1. Belanda menerima kehendak Sultan untuk mengunjungi Loji Belanda di Guntung, tetapi hendaklah melarang orang-orang membawa senjata tajam mengunjungi Loji.
2. Seluruh kapal-kapal Sultan tidak boleh merapat di dermaga Loji. Orang-orang Siak di jemput dengan sekoci, oleh Serdadu-serdadu Belanda.
Syarat ini diterima oleh Sultan demi kelancaran siasat tersebut.
Pada penghujung tahun 1760 M, tepat dengan janji Sultan kepada Datuk Bandar Jamal itu berangkatlah Lancang Kuning Murai Batu Datuk Bandar Jamal menuju Kuala Siak, dan berlindung disana sambil menunggu kode/isyarat bunyi dari Sultan. Serentak dengan itu Angkatan Sultan pun berangkat juga dari Siak menuju Loji Belanda yang berada di Guntung. Dalam perjalanan itu, sebahagian dari panglima-panglima Siak naik ke darat untuk mengadakan penyerangan dari daratan. Sultan dengan kenderaannya yang bernama Lancang Kuning Sri Buantan meneruskan perjalanannya menuju Loji Belanda tersebut.
Kedatangan Sultan itu disambut oleh Belanda dengan senang hati. Seluruh pengiring Sultan dipersilakan naik kedarat, lengkap dengan talam-talam yang berisikan hadiah. Karena hari telah hampir mendekati kegelapan senja dan masuk waktu magrib. Maka orang-orang Siak melakukan sembahyang magrib diluar Benteng Belanda itu. Selesai sembahyang magrib, barulah diadakan pertemuan antara kedua belah pihak. Komandan Loji yang merasakan dirinya berkuasa penuh di daerah itu, maka timbullah rasa keangkuhannya kepada Sultan, dan berkata : “Tuanku Sultan, sekarang Tuanku sudah berada di Benteng kami, sebaiknya Sultan menurut saja apa yang kami tentukan. Mendengar perkataan orang Belanda, Sultan tetap tenang saja. Walaupun di dalam hatinya berkecamuk perasaan ingin bertindak , tepat pada waktu yang ditentukan Sultan memberi aba-aba kepada seluruh pengiringnya, baik yang ikut secara nyata maupun yang bersembunyi di dalam semak belukar di sekitar Benteng itu : “Serbu!!!, serang Belanda!! Serentak dengan seruan itu Sultan menghunus kerisnya dan langsung menghujum ke dada komando Loji dan terjadilah pertempuran yang kacau balau. Datuk Bandar Jamal setelah hari hampir gelap, Lancang Kuning mendekati Loji.
Setelah
melihat kode/isyarat yang diberikan, Lancang Kunignya memuntahkan
peluru-peluru meriamnya ganti berganti, sehingga Belanda menjadi kocar
kacir. Panglima-panglima yang dari semak belukar itupun keluar dengan
gagah beraninya mengamuk, akhirnya Loji Belanda yang megah itu sunyi
senyap, karena tidak ada satupun tentara Belanda yang masih hidup berada
di sana. Selesailah sudah peperangan yang berkobar ini antara Belanda
dengan Sultan Siak Sri Indrapura yang memakan waktu tidak begitu lama.
Sultan kembali naik ke Lancang Kuningnya, kemudian memberi isyarat
kepada Datuk Bandar Jamal, agar menghancurkan Loji Belanda ini. Isyarat
dari Sultan ini diterima oleh Datuk Bandar Jamal dengan tidak
berlengah-lengah lagi, Lancang Kuning Datuk Bandar Jamal memuntahkan
peluru-peluru panas kearah Loji Belanda itu, sehingga sedikitpun tidak
meninggalkan bekas bangunan lagi.
Saudara pembaca yang terhormat, kisah peperangan ini terkenal didalam sejarah baik di Kerajaan Siak Sri Indrapura maupun dalam sejarah Bukit Batu dengan Perang Gantung.
Beberapa lamanya perhubungan antara Siak Sri Indrapura dengan Belanda terputus. Tetapi Sultan Siak Sri Indrapura tidaklah tinggal diam saja, beliau mempersiapkan diri dengan mendirikan Benteng-benteng pertahanan yang dilengkapi dengan meriam-meriam, sebahagian meriam itu rampasan dari Loji Belanda yang mengalami kekalahan dalam perang Guntung tersebut.
Pada tahun 1761 M, Baginda mengadakan keramaian genapnya lima belas tahun beliau memerintah di kerajaan Siak Sri Indrapura. Di dalam keramaian tersebut, Baginda Sultan menghadiahkan kepada Datuk Bandar Jamal seorang selirnya yang terlebih dahulu secara Islam, sebagai tanda terima kasihnya kepada Datuk Bandar Jamal yang telah membantunya dalam perang melawan Belanda di Guntung dahulu. Kemudian setelah habis masa edahnya barulah dinikahi oleh Datuk Bandar Jamal secara Islam pula. Semenjak itu seringlah Datuk Bandar Jamal berulang ke Siak, setahun kemudian istrinya Datuk Bandar Jamal yang berada di Siak Sri Indrapura itu melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamakan Encik Baki.
Kerajaan Siak Sri Indrapura, sewaktu pemerintahan Sultan Muhammad Abdul Muzafar Syah sangat kuat baik dalam pertahanan maupun dalam hal-hal yang lain. Tetapi sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT, umur manusia ini sudah ditentukannya. Beliau mangkat pada tahun 1765 M, dan memerintah selama 19 tahun. Setelah beliau mangkat digelar dengan gelar MARHUM MEMPURA. Sebelum beliau mangkat, beliau berpesan kepada putranya yaitu Tengku Ismail :
1. Jangan sekali-kali mau tunduk kepada Belanda Kafir itu.
2. Jangan sekali-kali berperang sesama saudara/keluarga sendiri.
3. Seandaina Tengku Alam (abangnya) yang bergelar dipertuan Muda, kembali ke Siak, hendaklah kamu serahkan tahta Kerajaan kepadanya.
Begitulah bunyi pesan beliau kepada Putranya Tengku Ismail, yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah tahun 1765 M, adapun pergelaran ini dilakukan oleh Datuk Bandar Jamal, seperti yang diamanahkan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama, dan disetujui oleh Datuk-datuk Empat Suku, juga pembesar-pembesar Kerajaan. Tetapi sayangnya Sultan ini tidak lama memerintah, di sebabkan setelah satu tahun memerintah, datanglah serangan Belanda yang mempergunakan Tengku Alam sebagai perisai. Akibat dari kemenangan Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah dahulu menjadi duri dalam daging bagi Belanda yang berada di Johor, walaupun mereka kelihatan tenang-tenang saja. Tetapi mereka mengatur siasat bagaimana untuk menebus kekalahan tersebut Bertepatan pula pada waktu itu Tengku Alam saudara dari Tengku Buang Asmara yang telah meninggalkan Siak Sri Indrapura dahulu sampai pula ke Johor dari perantauannya, kesemapatan ini tidak disia-siakan oleh Belanda yang licik itu.
Dengan rayuan yang manis, dibujuknya Tengku Alam supaya pulang ke Siak Sri Indrapura dan menduduki Tahta Kerajaan yang sebenarnya beliaulah yang berhak menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dan bukan keturunan Tengku Buang Asmara. Tengku Alam menolak bujukan dari Belanda itu, tetapi Belanda tidak putus asa. Belanda terus berusaha untuk membujuknya lagi, dan Belanda menjanjikan kepada Tengku Alam untuk menjamin keselamatan dan keutuhan Kerajaan Siak Sri Indrapura, seandainya beliau dinobatkan menjadi Raja kelak. Akhirnya Tengku Alam terpujuk juga dengan janji-janji manis dari Belanda ini, dengan syarat Belanda jangan merusak persahabatannya, dengan mencampuri urusan kekeluargaan kerajaan Sri Sri indrapura persyaratan ini di terima oleh Belanda ini atas dasar inilah Tengku alam kembali ke Siak besama-sama dengan angkatan perang Belanda. Berita ini cepat sampai ke Siak Sri indra pura.
Adapun Sultan Ismail Abdul Jalal Jalaludin Syah segera mengadakan musyawarah dengan orang-orang besar Siak dan Panglima-panglimanya. Sidang memutuskan, walau bagaimanapun pasukan Belanda harus dihadapi dengan cara apapun juga, maka diaturlah perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi Belanda ini, pada tahun 1766 M, bertemulah kedua angkatan perang ini di Kuala Sungai Siak, dan terjadilah pertempuran yang dahsyat tetapi Belanda yang telah lama mempersiapkan dirinya dengan angkapan perangnya yang lebih sempurna, dan akhirnya angkatan perang Siak dapat di pukul mundur sampai kepinggir koto Siak Sri Indrapura. Pada waktu penyerangan Belanda ini Datuk Bandar Jamal belum mengetahuinya. Tetapi akhirnya ia mendapat kabar juga, tentang kerajaan ini. Dengan tidak membuang waktu lagi, berangkatlah beliau dengan Lancang Kuningnya dan beberapa puluh buah kapal lagi yang membawa panglima-panglima dari Bengkalis.
Sesampainya dekat kejadian itu Lancang Kuning kenaikan Datuk Bandar Jamal memuntahkan peluru-peluru meriamnya kearah kapal Belanda itu. Belanda menjadi kucar kacir mendapat serangan yang tiba-tiba itu, apalagi datang dari belakang. Sedangkan dari hadapan tembakan-tembakan dari Angkatan perang Siak bertambah gencar, mereka ini mempergunakan rakit-rakit berapi, sampan-sampan yang berisi mesiu, dan pahlawan-pahlawan Siak mengadakan Jihatnya (jibaku), sehingga beberapa buah kapal perang Belanda banyak yang dapat di tenggelamkan, Belanda hampir mendekati kekalahan. Pada saat yang genting ini Belanda mempergunakan Tengku Alam sebagai perisai. Dengan perasaan sedih dan bercampur dengan kemarahan, Komandan Angkatan Perang Belanda bermohon kepada Tengku Alam supaya mengirim surat kepada Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah dan kepada putranya sendiri yaitu Panglima Besar di Kerajaan Siak Sri Indrapura, untuk memberhentikan pertempuran.
Surat Tengku Alam diterima oleh Sultan Siak dan dibacanya dihadapan para pembesar Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan berlinang mata, perasaannya berkecamuk antara kemenangan yang dihadapan mata atau saudara kandung ayahnya yang telah diamanahkan oleh ayahnya untuk mengembalikan Tahta kerajaan, seandainya pamannya itu kembali ke Siak Sri Indrapura ini. Sultan memilih amanah orang tuannya yaitu menyerahkan tahta Kerajaan Siak Sri Indrapura kepada pamannya Tengku Alam. Walaupun pengorbanan yang tidak terhingga yang akan dialaminya. Dikeluarkanlah perintah untuk memberhentikan pertempuran, dan mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Pamannya, dan mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Pamannya itu. Tidak beberapa lama kemudiannya dinobatkanlah Tengku Alam menjadi Sultan di Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamsyah. Sedangkan Tengku Ismail, sesudah meletakkan jabatannya sebagai Sultan, beliau mengundurkan dirinya ke Langkat, dan meninggal di sana dengan gelar Marhum Balai 1766 M.
Inilah awal permulaan cengkeraman kuku Belanda keatas Kerajaan Siak Sri Indrapura. Lambat laun cengkeraman itu meluas sampai daerah sekitarnya. Adapun pengangkatan dari Tengku alam ini tidak disetujui oleh Datuk Bandar Jamal, karena penobatan tersebut tidak lagi menurut amanah dari Sultan Siak yang pertama (Yang dipertuan Raja Kecil). Oleh sebab itu, Datuk Bandar Jamal kembali ke Bengkalis, dan memutuskan hubunganny dengan Siak Sri Indrapura. Menurutnya Kerajaan Siak Sri Indrapura tidak harus di hormati dan dipatuhi lagi sebab Kerajaan Siak Sri Indrapura telah dicampuri Belanda. Istana Sultan telah di injak oleh Belanda Kafir, ditambah pula lagi bahwa penobatan Sultan tidak lagi menurut ikrar yang telah di ikrarkan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama. Perasaan yang kurang menyenangkan dalam hati Datuk Bandar Jamal tersebut disampaikan kepada Sultan dengan melalui surat, apabila Sultan menerima dan membaca surat tersebut timbulah murkanya dan Datuk Bandar Jamal dipanggil ke Siak Sri Indrapura. Tetapi panggilan itu tidak dihiraukan oleh Datuk Bandar Jamal. Peristiwa ini hampir melibatkan perpecahan dan peperangan antara kerajaan Siak dengan Bengkalis, tetapi Datuk Bandar Jamal tidak berpikir demikian, Beliu menasehatkan kepada anaknya yaitu Encik Ibrahim dan penglima-panglimanya yang ada di Bengkalis jangan menjadi permusuhan di kemudian hari. Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan Bengkalis, sebab Sultan murka dengannya saja.
Pada tahun 1767 M, berangkatlah Datuk Bandar Jamal dengan Lancang Kuningnya menuju Malaka. Semenjak itulah beliau menetap disana disuatu kampung yang bernama Perenu. Disini pulalah beliau mengakhiri riwayatny. Beliau dimakamkan diatas sebuah Bukit yang banyak ditumbuhi pohon Ketapang, oleh sebab itu beliau digelar Datuk Ketapang.
Saudara pembaca yang terhormat, kisah peperangan ini terkenal didalam sejarah baik di Kerajaan Siak Sri Indrapura maupun dalam sejarah Bukit Batu dengan Perang Gantung.
Beberapa lamanya perhubungan antara Siak Sri Indrapura dengan Belanda terputus. Tetapi Sultan Siak Sri Indrapura tidaklah tinggal diam saja, beliau mempersiapkan diri dengan mendirikan Benteng-benteng pertahanan yang dilengkapi dengan meriam-meriam, sebahagian meriam itu rampasan dari Loji Belanda yang mengalami kekalahan dalam perang Guntung tersebut.
Pada tahun 1761 M, Baginda mengadakan keramaian genapnya lima belas tahun beliau memerintah di kerajaan Siak Sri Indrapura. Di dalam keramaian tersebut, Baginda Sultan menghadiahkan kepada Datuk Bandar Jamal seorang selirnya yang terlebih dahulu secara Islam, sebagai tanda terima kasihnya kepada Datuk Bandar Jamal yang telah membantunya dalam perang melawan Belanda di Guntung dahulu. Kemudian setelah habis masa edahnya barulah dinikahi oleh Datuk Bandar Jamal secara Islam pula. Semenjak itu seringlah Datuk Bandar Jamal berulang ke Siak, setahun kemudian istrinya Datuk Bandar Jamal yang berada di Siak Sri Indrapura itu melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamakan Encik Baki.
Kerajaan Siak Sri Indrapura, sewaktu pemerintahan Sultan Muhammad Abdul Muzafar Syah sangat kuat baik dalam pertahanan maupun dalam hal-hal yang lain. Tetapi sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT, umur manusia ini sudah ditentukannya. Beliau mangkat pada tahun 1765 M, dan memerintah selama 19 tahun. Setelah beliau mangkat digelar dengan gelar MARHUM MEMPURA. Sebelum beliau mangkat, beliau berpesan kepada putranya yaitu Tengku Ismail :
1. Jangan sekali-kali mau tunduk kepada Belanda Kafir itu.
2. Jangan sekali-kali berperang sesama saudara/keluarga sendiri.
3. Seandaina Tengku Alam (abangnya) yang bergelar dipertuan Muda, kembali ke Siak, hendaklah kamu serahkan tahta Kerajaan kepadanya.
Begitulah bunyi pesan beliau kepada Putranya Tengku Ismail, yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah tahun 1765 M, adapun pergelaran ini dilakukan oleh Datuk Bandar Jamal, seperti yang diamanahkan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama, dan disetujui oleh Datuk-datuk Empat Suku, juga pembesar-pembesar Kerajaan. Tetapi sayangnya Sultan ini tidak lama memerintah, di sebabkan setelah satu tahun memerintah, datanglah serangan Belanda yang mempergunakan Tengku Alam sebagai perisai. Akibat dari kemenangan Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah dahulu menjadi duri dalam daging bagi Belanda yang berada di Johor, walaupun mereka kelihatan tenang-tenang saja. Tetapi mereka mengatur siasat bagaimana untuk menebus kekalahan tersebut Bertepatan pula pada waktu itu Tengku Alam saudara dari Tengku Buang Asmara yang telah meninggalkan Siak Sri Indrapura dahulu sampai pula ke Johor dari perantauannya, kesemapatan ini tidak disia-siakan oleh Belanda yang licik itu.
Dengan rayuan yang manis, dibujuknya Tengku Alam supaya pulang ke Siak Sri Indrapura dan menduduki Tahta Kerajaan yang sebenarnya beliaulah yang berhak menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dan bukan keturunan Tengku Buang Asmara. Tengku Alam menolak bujukan dari Belanda itu, tetapi Belanda tidak putus asa. Belanda terus berusaha untuk membujuknya lagi, dan Belanda menjanjikan kepada Tengku Alam untuk menjamin keselamatan dan keutuhan Kerajaan Siak Sri Indrapura, seandainya beliau dinobatkan menjadi Raja kelak. Akhirnya Tengku Alam terpujuk juga dengan janji-janji manis dari Belanda ini, dengan syarat Belanda jangan merusak persahabatannya, dengan mencampuri urusan kekeluargaan kerajaan Sri Sri indrapura persyaratan ini di terima oleh Belanda ini atas dasar inilah Tengku alam kembali ke Siak besama-sama dengan angkatan perang Belanda. Berita ini cepat sampai ke Siak Sri indra pura.
Adapun Sultan Ismail Abdul Jalal Jalaludin Syah segera mengadakan musyawarah dengan orang-orang besar Siak dan Panglima-panglimanya. Sidang memutuskan, walau bagaimanapun pasukan Belanda harus dihadapi dengan cara apapun juga, maka diaturlah perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi Belanda ini, pada tahun 1766 M, bertemulah kedua angkatan perang ini di Kuala Sungai Siak, dan terjadilah pertempuran yang dahsyat tetapi Belanda yang telah lama mempersiapkan dirinya dengan angkapan perangnya yang lebih sempurna, dan akhirnya angkatan perang Siak dapat di pukul mundur sampai kepinggir koto Siak Sri Indrapura. Pada waktu penyerangan Belanda ini Datuk Bandar Jamal belum mengetahuinya. Tetapi akhirnya ia mendapat kabar juga, tentang kerajaan ini. Dengan tidak membuang waktu lagi, berangkatlah beliau dengan Lancang Kuningnya dan beberapa puluh buah kapal lagi yang membawa panglima-panglima dari Bengkalis.
Sesampainya dekat kejadian itu Lancang Kuning kenaikan Datuk Bandar Jamal memuntahkan peluru-peluru meriamnya kearah kapal Belanda itu. Belanda menjadi kucar kacir mendapat serangan yang tiba-tiba itu, apalagi datang dari belakang. Sedangkan dari hadapan tembakan-tembakan dari Angkatan perang Siak bertambah gencar, mereka ini mempergunakan rakit-rakit berapi, sampan-sampan yang berisi mesiu, dan pahlawan-pahlawan Siak mengadakan Jihatnya (jibaku), sehingga beberapa buah kapal perang Belanda banyak yang dapat di tenggelamkan, Belanda hampir mendekati kekalahan. Pada saat yang genting ini Belanda mempergunakan Tengku Alam sebagai perisai. Dengan perasaan sedih dan bercampur dengan kemarahan, Komandan Angkatan Perang Belanda bermohon kepada Tengku Alam supaya mengirim surat kepada Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah dan kepada putranya sendiri yaitu Panglima Besar di Kerajaan Siak Sri Indrapura, untuk memberhentikan pertempuran.
Surat Tengku Alam diterima oleh Sultan Siak dan dibacanya dihadapan para pembesar Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan berlinang mata, perasaannya berkecamuk antara kemenangan yang dihadapan mata atau saudara kandung ayahnya yang telah diamanahkan oleh ayahnya untuk mengembalikan Tahta kerajaan, seandainya pamannya itu kembali ke Siak Sri Indrapura ini. Sultan memilih amanah orang tuannya yaitu menyerahkan tahta Kerajaan Siak Sri Indrapura kepada pamannya Tengku Alam. Walaupun pengorbanan yang tidak terhingga yang akan dialaminya. Dikeluarkanlah perintah untuk memberhentikan pertempuran, dan mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Pamannya, dan mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Pamannya itu. Tidak beberapa lama kemudiannya dinobatkanlah Tengku Alam menjadi Sultan di Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamsyah. Sedangkan Tengku Ismail, sesudah meletakkan jabatannya sebagai Sultan, beliau mengundurkan dirinya ke Langkat, dan meninggal di sana dengan gelar Marhum Balai 1766 M.
Inilah awal permulaan cengkeraman kuku Belanda keatas Kerajaan Siak Sri Indrapura. Lambat laun cengkeraman itu meluas sampai daerah sekitarnya. Adapun pengangkatan dari Tengku alam ini tidak disetujui oleh Datuk Bandar Jamal, karena penobatan tersebut tidak lagi menurut amanah dari Sultan Siak yang pertama (Yang dipertuan Raja Kecil). Oleh sebab itu, Datuk Bandar Jamal kembali ke Bengkalis, dan memutuskan hubunganny dengan Siak Sri Indrapura. Menurutnya Kerajaan Siak Sri Indrapura tidak harus di hormati dan dipatuhi lagi sebab Kerajaan Siak Sri Indrapura telah dicampuri Belanda. Istana Sultan telah di injak oleh Belanda Kafir, ditambah pula lagi bahwa penobatan Sultan tidak lagi menurut ikrar yang telah di ikrarkan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama. Perasaan yang kurang menyenangkan dalam hati Datuk Bandar Jamal tersebut disampaikan kepada Sultan dengan melalui surat, apabila Sultan menerima dan membaca surat tersebut timbulah murkanya dan Datuk Bandar Jamal dipanggil ke Siak Sri Indrapura. Tetapi panggilan itu tidak dihiraukan oleh Datuk Bandar Jamal. Peristiwa ini hampir melibatkan perpecahan dan peperangan antara kerajaan Siak dengan Bengkalis, tetapi Datuk Bandar Jamal tidak berpikir demikian, Beliu menasehatkan kepada anaknya yaitu Encik Ibrahim dan penglima-panglimanya yang ada di Bengkalis jangan menjadi permusuhan di kemudian hari. Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan Bengkalis, sebab Sultan murka dengannya saja.
Pada tahun 1767 M, berangkatlah Datuk Bandar Jamal dengan Lancang Kuningnya menuju Malaka. Semenjak itulah beliau menetap disana disuatu kampung yang bernama Perenu. Disini pulalah beliau mengakhiri riwayatny. Beliau dimakamkan diatas sebuah Bukit yang banyak ditumbuhi pohon Ketapang, oleh sebab itu beliau digelar Datuk Ketapang.
Pemerintahan
Bengkalis, sepeninggal Datuk Bandar Jamal dipegang oleh anaknya yang
bernama Encik Ibrahim dengan gelar Datuk Sri Maha Raja Lela. Beberapa
lamanya beliau memerintah di Bengkalis datanglah utusan dari Siak Sri
Indrapura yang isinya, bahwa Sultan Siak mengundang Datuk Sri Maha Raja
Lela ke Siak untuk memperbaiki hubungan antara Bengkalis dengan Siak Sri
Indrapura yang telah lama terjalin semenjak Kerajaan Siak Sri Indrapura
berdiri.
Datuk Sri Maha Raja Lela berangkat ke Siak, sesampainya di sana beliau disambut oleh orang-orang besar Kerajaan dan langsung di bawa menghadap Sultan. Didalam pertemuan itu Sultan mengakui kesalahannya terutama mengenai pengangkatan Sultan tidak menurut amanah yang telah di amanahkan oleh Sultan Siak Pertama. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Datuk Bandar Jamal dahulu mengenai Belanda kafir itu memang benar. Belanda yang telah diberikan keizinan berdagang dari Sultan itu memperbesar pengaruhnya. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, Sultan Abdul Jalil Alamsyah sendiri merasa sedih, atas kerakusan Belanda ini. Kemudian teringat pula ia kepada kemanakannya yang telah pergi, terbayang pula bagaimana ia dahulu pergi membawa diri. Dikarenakan Sultan ini seorang yang alim dan taat kepada agama kesedihan itu tidak dinampakannya, hanya disimpan di dalam hatinya, hanya ia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa demi kesejahteraan beliau dan rakyatnya.
Kemudian Sultan bertitah kepada Datuk Sri Maha Raja Lela, berharap dari mulai sekarang ini, marilah kita pupuk kembali hubungan kita antara Siak dan Bengkalis. Beta harap kapada Datuk, segala sesuatu yang telah berlaku adalah menjadi pelajaran bagi kita dan anak cucu kita di belakang hari. Selanjutnya kami harap kepada Datuk, meskipun Datuk telah bergelar di Bengkalis, kami akan mengadakan perlantikan/memberi gelar keatas diri Datuk. Ini untuk mengembalikan amanah yang telah diamanahkan dahulu oleh keturunan kami. Sesuai dengan kedudukan Datuk yaitu daerah lautan, dengan ini kami gelar dengan gelaran DATUK LAKSEMANA RAJA DILAUT. Dengan selesainya penggelaran ini berarti Datuk Ibrahim mempunyai dua gelaran :
1. Datuk Sri Maha Raja Lela yang didapatinya dari Bengkalis.
2. Datuk Laksemana Raja Di Laut yang didapatinya dari Sultan Siak Sri Indrapura.
Inilah permulaan keturunan Panglima Tuagik bergelar Laksemana sampailah nantinya kepada Datuk Ali Akbar Laksemana yang terakhir.
Selesai saja pelantikan itu, amaka Datuk Lakseman Raja Dilaut bermohon diri untuk pulang ke Bengkalis. Tidak berapa lama, beliau membuat sebuah Lancang berwarna Kuning berbentuk sebuah kapal penjajap (penjelajah) lengkap dengan meriam-meriamnya dan alat-alat lain yang berguna untuk keperluan perang, diantara meriam-meriam itu ialah :
1. SUMPITAN BONE, yang dibawa oleh Daeng Tuagik dari Sulawesi, terbuat dari kuningan made in Roma.
2. TUPAI BERADU, dari Petapahan (namanya Tupai Beradu karena pada meriam itu tergambar dua ekor Tupai) juga terbuat dari kuningan.
3. dan lain-lain.
Adapun Sumpitan Bone di bahagian muka di atas apelannya, sedangkan meriam Tupai Beradu di sebelah kanan Penjajap dan di sebelah kirinya kawan dari meriam Sumpitan Bone. Di bahagian belakangnya diletakkan dua buah meriam yang lebih kecil dari pada yang dimuka, semuanya terbikin dari kuningan. Demikianlah magahnya kapal perang Datuk Sri Maha Raja Lela, yang juga bergelar Datuk Laksemana Raja Dilaut. Diatas tiangnya (tiang layar) berkibar bendera yang berwarna hitam, kuning, hitam diatas kuning di tengah dan dibawahnya hitam lagi. Bendera ini adalah bendera persatuan antara Siak Sri Indrapura dengan Bengkalis (Datuk Sri Maha Raja Lela atau Datuk Laksemana Raja Dilaut). Pada tiang belakangnya berkibar pula bendera yang berwarna Hijau Lumut. Keterangan bendera tersebut ialah sebagai berikut :
1. Kuning ditengah adalah lambang Kerajaan Siak Sri Indrapura (Raja)
2. Hitam adalah lambang/pakaian Hulubalang.
Hijau Lumut melambangkan kemakmuran (Bendera Bengkalis).
Dengan keterangan tadi dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura (Raja) dilindungi oleh Datuk Laksemana Raja Dilaut.
PERMULAAN JAYANYA BUKIT BATU TAHUN 1780 M
Pada tahun 1780 M, Datuk Laksemana Raja Dilaut bermaksud memindahkan Ibu Negerinya ke Bukit Batu. Pada tahun itu juga pindahlah Ibu Negeri ke Bukit Batu (daerah Bukit Batu Laut sekarang ini). Tidak berapa lama kemudian datanglah utusan dari Siak Sri Indrapura menjumpai Datuk Laksemana Raja Dilaut/Datuk Sri Maha Raja Lela, utusan itu mengatakan bahwa adik Datuk Laksmana yang bernama Encik Baki, (Encik Baki adalah anak dari Datuk Bandar Jamal bersama isteriya yang berada di Siak) telah melakukan pembunuhan Tabib pribadi Sultan.
Dikarenakan Encik Baki adalah adik dari Datuk Laksemana sendiri, maka Sultan Siak Sri Indrapura tidak mau menjatuhkan hukuman langsung. Terserahlah kepada Datuk Laksemana nantinya. Mendengar penuturan dari utusan Siak itu Datuk Laksemana berangkatlah ke Siak Sri Indrapura. Sesampainya di Siak beliau langsung menghadap Sultan dan berkata “Apa boleh buat Tuanku, dalam menjalankan pemerintahan, siapa saja yang bersalah pasti menerima hukumannya walaupun yang bersalah itu adik sendiri. Hukum nyawa harus dibayar dengan nyawa pula”.
Datuk Sri Maha Raja Lela berangkat ke Siak, sesampainya di sana beliau disambut oleh orang-orang besar Kerajaan dan langsung di bawa menghadap Sultan. Didalam pertemuan itu Sultan mengakui kesalahannya terutama mengenai pengangkatan Sultan tidak menurut amanah yang telah di amanahkan oleh Sultan Siak Pertama. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Datuk Bandar Jamal dahulu mengenai Belanda kafir itu memang benar. Belanda yang telah diberikan keizinan berdagang dari Sultan itu memperbesar pengaruhnya. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, Sultan Abdul Jalil Alamsyah sendiri merasa sedih, atas kerakusan Belanda ini. Kemudian teringat pula ia kepada kemanakannya yang telah pergi, terbayang pula bagaimana ia dahulu pergi membawa diri. Dikarenakan Sultan ini seorang yang alim dan taat kepada agama kesedihan itu tidak dinampakannya, hanya disimpan di dalam hatinya, hanya ia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa demi kesejahteraan beliau dan rakyatnya.
Kemudian Sultan bertitah kepada Datuk Sri Maha Raja Lela, berharap dari mulai sekarang ini, marilah kita pupuk kembali hubungan kita antara Siak dan Bengkalis. Beta harap kapada Datuk, segala sesuatu yang telah berlaku adalah menjadi pelajaran bagi kita dan anak cucu kita di belakang hari. Selanjutnya kami harap kepada Datuk, meskipun Datuk telah bergelar di Bengkalis, kami akan mengadakan perlantikan/memberi gelar keatas diri Datuk. Ini untuk mengembalikan amanah yang telah diamanahkan dahulu oleh keturunan kami. Sesuai dengan kedudukan Datuk yaitu daerah lautan, dengan ini kami gelar dengan gelaran DATUK LAKSEMANA RAJA DILAUT. Dengan selesainya penggelaran ini berarti Datuk Ibrahim mempunyai dua gelaran :
1. Datuk Sri Maha Raja Lela yang didapatinya dari Bengkalis.
2. Datuk Laksemana Raja Di Laut yang didapatinya dari Sultan Siak Sri Indrapura.
Inilah permulaan keturunan Panglima Tuagik bergelar Laksemana sampailah nantinya kepada Datuk Ali Akbar Laksemana yang terakhir.
Selesai saja pelantikan itu, amaka Datuk Lakseman Raja Dilaut bermohon diri untuk pulang ke Bengkalis. Tidak berapa lama, beliau membuat sebuah Lancang berwarna Kuning berbentuk sebuah kapal penjajap (penjelajah) lengkap dengan meriam-meriamnya dan alat-alat lain yang berguna untuk keperluan perang, diantara meriam-meriam itu ialah :
1. SUMPITAN BONE, yang dibawa oleh Daeng Tuagik dari Sulawesi, terbuat dari kuningan made in Roma.
2. TUPAI BERADU, dari Petapahan (namanya Tupai Beradu karena pada meriam itu tergambar dua ekor Tupai) juga terbuat dari kuningan.
3. dan lain-lain.
Adapun Sumpitan Bone di bahagian muka di atas apelannya, sedangkan meriam Tupai Beradu di sebelah kanan Penjajap dan di sebelah kirinya kawan dari meriam Sumpitan Bone. Di bahagian belakangnya diletakkan dua buah meriam yang lebih kecil dari pada yang dimuka, semuanya terbikin dari kuningan. Demikianlah magahnya kapal perang Datuk Sri Maha Raja Lela, yang juga bergelar Datuk Laksemana Raja Dilaut. Diatas tiangnya (tiang layar) berkibar bendera yang berwarna hitam, kuning, hitam diatas kuning di tengah dan dibawahnya hitam lagi. Bendera ini adalah bendera persatuan antara Siak Sri Indrapura dengan Bengkalis (Datuk Sri Maha Raja Lela atau Datuk Laksemana Raja Dilaut). Pada tiang belakangnya berkibar pula bendera yang berwarna Hijau Lumut. Keterangan bendera tersebut ialah sebagai berikut :
1. Kuning ditengah adalah lambang Kerajaan Siak Sri Indrapura (Raja)
2. Hitam adalah lambang/pakaian Hulubalang.
Hijau Lumut melambangkan kemakmuran (Bendera Bengkalis).
Dengan keterangan tadi dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura (Raja) dilindungi oleh Datuk Laksemana Raja Dilaut.
PERMULAAN JAYANYA BUKIT BATU TAHUN 1780 M
Pada tahun 1780 M, Datuk Laksemana Raja Dilaut bermaksud memindahkan Ibu Negerinya ke Bukit Batu. Pada tahun itu juga pindahlah Ibu Negeri ke Bukit Batu (daerah Bukit Batu Laut sekarang ini). Tidak berapa lama kemudian datanglah utusan dari Siak Sri Indrapura menjumpai Datuk Laksemana Raja Dilaut/Datuk Sri Maha Raja Lela, utusan itu mengatakan bahwa adik Datuk Laksmana yang bernama Encik Baki, (Encik Baki adalah anak dari Datuk Bandar Jamal bersama isteriya yang berada di Siak) telah melakukan pembunuhan Tabib pribadi Sultan.
Dikarenakan Encik Baki adalah adik dari Datuk Laksemana sendiri, maka Sultan Siak Sri Indrapura tidak mau menjatuhkan hukuman langsung. Terserahlah kepada Datuk Laksemana nantinya. Mendengar penuturan dari utusan Siak itu Datuk Laksemana berangkatlah ke Siak Sri Indrapura. Sesampainya di Siak beliau langsung menghadap Sultan dan berkata “Apa boleh buat Tuanku, dalam menjalankan pemerintahan, siapa saja yang bersalah pasti menerima hukumannya walaupun yang bersalah itu adik sendiri. Hukum nyawa harus dibayar dengan nyawa pula”.
Kemudian
Datuk Sri Maha Raja Lela memanggil adiknya Encik Baki menjatuhkan
hukuman kepadanya dengan hukuman Sulo. Tetapi dinyatakan kepada
sipenikam (algojo) sebagai berikut:
1. Harus mati sekali Tikam
2. Tidak boleh melebihi dari luka yang terdapat pada luka orang yang ditikam oleh Encik Baki dahulu yaitu ½ inci, ataupun kurang dari itu.
3. Apabila tidak menurut ketentuan tersebut, hukuman berpindah kepada si penikam.
1. Harus mati sekali Tikam
2. Tidak boleh melebihi dari luka yang terdapat pada luka orang yang ditikam oleh Encik Baki dahulu yaitu ½ inci, ataupun kurang dari itu.
3. Apabila tidak menurut ketentuan tersebut, hukuman berpindah kepada si penikam.
Maka
dijalankahlah hukuman itu didepan orang ramai agar dapat disaksikan oleh
mereka sebagai contoh perbuatan sendiri. Tepat sekali apa yang dimaksud
dalam ketentuan tersebut, tidak kurang dan tidak pula lebih. Setelah
selesai hukuman dijalankan, Datuk Sri Maha Raja Lela tidak keluar-keluar
dari rumah beberapa hari, beliau memendam kesedihan yang tidak
terhingga, Beliau menyerahkan ini semua kepada Takdir Allah Swt, dan
menjalankan apa yang tercantum di dalam kitab Allah yaitu Al-Qur’an.
Setelah Beliau berkabung beberapa hari, beliau memohon diri kepada Sultan untuk pulang ke Bukit Batu, tetapi Sultan menangguhkan keberangkatan Datuk Sri Maha Raja Lela itu, dengan maksud beliau akan menganugerahkan gelar kepada Datuk Sri Maha Raja Lela karena kesetiaannya kepada Sultan, yang sanggup membunuh adiknya sendiri demi menjaga marwah dari Sultan sendiri. Gelar yang akan dianugerahkan itu ialah : DATUK LAKSEMANA MAHA RAJA LELA SETIA DIRAJA.
Setelah Beliau berkabung beberapa hari, beliau memohon diri kepada Sultan untuk pulang ke Bukit Batu, tetapi Sultan menangguhkan keberangkatan Datuk Sri Maha Raja Lela itu, dengan maksud beliau akan menganugerahkan gelar kepada Datuk Sri Maha Raja Lela karena kesetiaannya kepada Sultan, yang sanggup membunuh adiknya sendiri demi menjaga marwah dari Sultan sendiri. Gelar yang akan dianugerahkan itu ialah : DATUK LAKSEMANA MAHA RAJA LELA SETIA DIRAJA.
Dari Datuk Laksemana Maha Raja Lela Setia Diraja inilah tersebar dimana-mana keturunan dari Panglima Tuagik. Datuk Lakseman Sri Maha Raja Lela Setia Diraja ini menikah dengan Encik Saimah anak dari Penghulu Dumai yang pertama, mempunyai anak sebanyak tujuh orang. Dua laki-lak dan lima perempuan, antara lain ialah :
1. Encik Mansayu (perempuan)
2. Encik Aminah (perempuan)
3. Encik Nandak (perempuan)
4. Encik Nombih (perempuan)
5. Encik Dobih (perempuan)
6. Encik Khamis (laki-laki)
7. Encik M.Yusuf/E.Ayat (Laki-laki)
Adapun Isteri beliau yang kedua, anak dari Batin Bengkalis yang bernama Gundah, anaknya itu bernama : Encik Mahintan, dan Encik Mahintan beranak :
1. Encik Umar (Laki-laki)
2. Encik Epong (perempuan)
(meninggal semasa gadisnya)
Kita kembali ke Kerajaan Siak Sri Indrapua, pada saat itu Sultan sedang memikirkan tentang kepergian kemanakannya yang telah mangkat di Langkat dengan gelar Marhum mangkat di Balai. Beliau bermaksud untuk memindahkan Ibu Kerajaannya ketempat lain. Maksudnya ini tercapai dengan pindahnya Ibu Kerajaan dari Mempura ke Senapelan (Pekan Baru sekarang ini) tahun 1775 M.
Sultan Siak Sri Indrapura ini mempunyai keturunan sebanyak 5 (lima) orang antaranya :
1. Tengku Muhammad Ali yang bergelar Tengku Panglima Besar.
2. Tengku Embung Badariah.
3. Tengku Akil
4. Tengku Hawi
5. Tengku Oesman.
Setelah setahun beliau memerintah di Senapelan, terniat pula dihati beliau untuk mencari menantu keturunan dari Nabi Besar Muhammad S.A.W. akhirnya niat beliau tercapai juga, dengan mengawinkan Tengku Embung Badariah dengan Saiyid Syarif Oesman Ibnu Saiyid Syarif Abdurrahman Sahabuddin. Adapun Tengku Alam (Sultan Siak Sri Indrapura yang memerintah pada saat itu) hari tuanya dihabiskan dengan beramal dan beribadah kepada Allah SWT saja. Hinggalah beliau mangkat pada tahun 1780 M, setelah beliau mangkat digelarlah dengan gelar Marhum Bukit, dan dimakamkan didepan Masjid Raya Pekanbaru sekarang ini.
Adapun sebagai pengganti beliau, dinobatlah anaknya yaitu Tengku Muhammad Ali dengan gelar Sultan Muhammad Ali Muazamsyah tahun 1780 M. beliau ini tidak lama memerintah, karena beliau dinobatkan menjadi Sultan sudah berumur lanjut. Dalam masa yang singkat ini, beliau berusaha membuat jalan dari Senapelan ke Tratak Buluh, dan melaksanakan perdangangan dengan daerah Sumatera Barat melalui Payakumbuh. Juga beliau hari-hari pekan di daerah Kerajaannya, yaitu hari-hari pasar, sehingga timbullah perkataan Pekan Baru sekarang ini.
Beliau mangkat pada tahun 1782 M. atas jasa-jasa beliau, setelah mangkat beliau digelar dengan nama Marhum Pekan. Setelah kemangkatan Sultan Muhammad Ali Muazamsyah dinobatkanlah Tengku Yahya (putra dari Tengku Ismail), menjadi Sultan Siak Sultan Sri Indrapura VI, dengan gelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafarsyah Sultan ini memindahkan Ibu Kerajaannya dari Senapelan ke Mempura, yaitu bekas Ibu Kerajaan yang telah dihina oleh ayahndanya dahulu. Pengangkatan Sultan ini dilakukan oleh Datuk Laksemana Maha Raja Lela Setia Diraja, sebagaimana menurut kebiasaannya. Tidak beberapa lama beliau ini memerintah terniat dalam hati beliau untuk pergi ke semenanjung melayu guna menziarahi makam dari neneknya, dan mangkatlah beliau disana, di sebuah tempat yang bernama Dungun. Kemudian beliau ini setelah mangkatnya digelar Mahum Di Dungun. Sebelum beliau meninggalkan Kerajaan Siak Sri Indrapura, Tahta Kerajaan diwakilkannya kepada Saiyid Ali, anak dari Tengku Embung Badariah berkawin dengan Saiyid Oesman. Berita kemangkatan dari Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafarsyah ini, sampai ke Siak oleh pembesar-pembesar Kerajaan Siak Sri Indrapura, dan dihadiri pula oleh Datuk Lakseman Maha Raja Lela Setia Diraja mengadakan sidang/untuk mencari pengganti Sultan.
Sidang memutuskan bahwa Saiyid Ali yang menjabat Sultan di angkat menjadi Sultan Siak Sri Indrapura. Tidak beberapa lama kemudian dinobatkanlah beliau menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Assayaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin. Beliau inilah Sultan Siak yang pertama berdarah Arab dan bergelar Syaiyid Syarif. Pada masa Sultan inilah Kerajaan Siak Sri Indrapura mencapai kejayaan dibidang peluasan daerah jajahan dengan kerja sama Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja. Ayahanda dari Sultan ini mangkat di dalam peperangan menaklukkan Batu Bara yang digelar Marhum Barat (Saiyid Syarif Oesman). Kemudian dipindahkan ke Pekanbaru di depan Mesjid Raya bersama mertuanya.
Pada
tahun 1790 M. sultan Saiyid Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin mengirim
surat kepada Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Setia Diraja Bukit
Batu. Di dalam surat itu dinyatakan bahwa : Sultan mengharapkan sangat
bantuan dari Datuk Laksemana untuk mengambil Asahan sebagai jajahannya.
Surat tersebut dibalas oleh Datuk Laksemana bahwa permintaan dari Sultan
itu belumlah dapat dikabulkan dalam waktu siangkat mengingat bahwa
panglima-panglima Bukit Batu belum ada yang dapat dihandalkan pada masa
sekarang, sebab paglima-panglima banyak yang tewas dalam
peperangan-peperangan selama lima tahun ini yang tiada henti-hentinya.
Dari itu kami mengharapkan sangat kesudian Tuanku untuk menangguh niat
Tuanku itu, sampai nantinya kami mencari dan melatih penggantinya. Mulai
saat itulah Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja mencari
orang-orang gagah dari Sungai Pakning, Buruk Bakul, Bengkalis sampai ke
Dumai.
Dari
pilihan inilah muncul beberapa orang gagah yang mau menyumbangkan
tenaganya untuk membantu Datuk Lalsemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja
yang juga bergelar Datuk Laksemana Raja Dilaut, antara lain yang dapat
kami sebutkan disini :
1. Panglima Kenaikan yang bernama Encik Jaafar.
2. Panglima Kusan Ipar dari Datuk Laksemana.
3. Panglima Tompok, mukanya berbelang, sebelah hitam.
4. Panglima Asin.
5. dan lain-lainya.
Setelah sampai waktu yang dijanjikan, berangkatlah Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela/Datuk Laksemana Raja Dilaut dengan lancang kuningnya yang bernama Lancang Kuning Murai Batu, menuju Siak Sri Indra Pura, dengan membawa seorang cucunya yang tersayang yang bernama Encik Lung, anak dari Encik Nombih berkawin dengan Panglima Kusan. Sesampainya disana. Maka berangkatlah meraka bersama-sama ke barat dengan didahului oleh Lancang Kuning Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela/ Datuk Laksemana Raja Dilaut. Setelah beberapa minggu sampailah mereka di perairan Tanjung Balai. Turunlah beberapa Panglima kedalam perahu kecil dengan menyamar sabagai nelayan, dan naik ke darat dengan maksud hendak membeli alat-alat penangkap ikan yang baru. Setelah berjalan berkeliling sambil mengawasi keadaan kota, mereka kembali ke kapal, dan mengatakan bahwa penjagaan di negeri itu sangat rapi sekali.
1. Panglima Kenaikan yang bernama Encik Jaafar.
2. Panglima Kusan Ipar dari Datuk Laksemana.
3. Panglima Tompok, mukanya berbelang, sebelah hitam.
4. Panglima Asin.
5. dan lain-lainya.
Setelah sampai waktu yang dijanjikan, berangkatlah Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela/Datuk Laksemana Raja Dilaut dengan lancang kuningnya yang bernama Lancang Kuning Murai Batu, menuju Siak Sri Indra Pura, dengan membawa seorang cucunya yang tersayang yang bernama Encik Lung, anak dari Encik Nombih berkawin dengan Panglima Kusan. Sesampainya disana. Maka berangkatlah meraka bersama-sama ke barat dengan didahului oleh Lancang Kuning Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela/ Datuk Laksemana Raja Dilaut. Setelah beberapa minggu sampailah mereka di perairan Tanjung Balai. Turunlah beberapa Panglima kedalam perahu kecil dengan menyamar sabagai nelayan, dan naik ke darat dengan maksud hendak membeli alat-alat penangkap ikan yang baru. Setelah berjalan berkeliling sambil mengawasi keadaan kota, mereka kembali ke kapal, dan mengatakan bahwa penjagaan di negeri itu sangat rapi sekali.
Sultan
Asahan telah mengetahui bahwa Angkatan Siak telah datang untuk
menyeranginya. Beliau ini memohon bantuan dari Kerajaan tetangganya
yaitu dari Kerajaan Batak (Sisingamangaraja). Angkatan Siak dan Bukit
Batu sudah hampir dua bulan berada di perairan Asahan, jangankan naik
kedarat mendekati pelabuhan tidak bisa. Kadang-kadang kedua Angkatan iti
mendekati tetapi, tiba-tiba saja tembakan-tembakan yang mereka terima
dari daratan, begitulah keadaannya hingga mencapai tiga bulan dan
akhirnya kedua angkatan kehabisan bekal. Terpaksalah salah sebuah dari
kapal Sulatan pergi kesemenanjung Melayu untuk membeli perbekalan.
Setelah perbekalan didapati mereka mulailah mengadakan penyerangan.
Lancang Kuning Datuk Laksemana di depan, dengan melepas
tembakan-tembakan yang bertubi-tubi dari kedua Angkatan Laut ini, hingga
menghampiri pelabuhan Asahan. Tiba-tiba Datuk Laksemana terkena
serpihan peluru meriam yang ditembakan dari daratan sehingga jatuh dari
apelannya kebawah. Panglima-panglima dari Datuk Laksemana datang
menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Tetapi Datuk Laksemana
menjawab bahwa kepalanya saja yang agak pening sedikit.
Beliau
memrintahkan kepada cucunya yang masih kecil itu supaya naik ke atas
apilan mengantikan kedudukanya, dan beliau memberikan ikat kepalanya
kepada Encik Lung itu. Dengan tidak berlengah-lengah lagi Encik Lung
naik keatas apilan datuknya itu, sambil mengadakan tembakan yang gencar
dalam kesibukan kancah peperangan itu datanglah Lancang Sultan Siak dari
belakang dan memerintahkan supaya Lancang Datuk Laksemana mundur.
Mendengar perkataan itu bangkitlah semangat Datuk Laksemana ini dengan
berkata keras-keras ia berkakata kepada Encik Lung supaya meneruskan
tembakan, jangan mundur dan siapa saja yang melintas dihadapanya itu
berarti musuh dan harus dimusnahkan. Setelah Lancang Kuning Datuk
Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja/Datuk Laksemana Raja Dilaut
merapat ketepi, Datuk Laksemana berpesan kepada panglimanya kalaulah
sampai kedarat nanti tolonglah carikan beberapa buah manggis. Dengan
tidak membuanga tempoh lagi berlompatlah Panglima-panglima Lancang
Kuning Datuk
Laksemana ke daratan. Yang pertama naik ialan Panglima-panglima :
1. Panglima Kenaikan.
2. Panglima Kusan.
3. Panglima Tompok.
4. Panglima Asin.
1. Panglima Kenaikan.
2. Panglima Kusan.
3. Panglima Tompok.
4. Panglima Asin.
Serta
diikuti oleh Panglima-panglima lainnya. Angkatan dari Asahan setelah
melihat kedua angakatan lawan telah merapat di pelabuhan dengan
tembakan-tembakan yang terus menerus sedang balasan dari Asahan sudah
mulai berkurang, sehingga ada melawan dan ada yang lari melihat
Panglima-panglima dari Siak dan Bukit Batu naik kedarat. sebahagian dari
Panglima-panglima ini terus menunggu Istana, tetapi sayangnya Sultan
telah melarikan diri, tahta Kerajaan diwakilkannya kepada Datuk Menteri.
Panglima-panglima ini meminta kepada Datuk Menteri supaya menyerahkan
kerajaan ini, tetapi beliau ini diam membisu. Tetapi setelah dipaksa
dengan ancaman-ancaman, barulah beliau mengakui kekalahan Kerajaan
Asahan dan berjanji akan tuntuk kepada kerajaan Siak Sri Indrapura.
Sebagian dari Panglima-panglima Datuk Laksemana pergi mencari buah
manggis yang dipesan oleh Datuk Laksemana tadi. Setelah berkeliling
mencari, dapatlah buah manggis itu sebanyak tiga buah.
Peperangan
telah reda dan Asahan menyatakan kekalahan dan takluk dibawah
pemerintahan Kerajaan Siak Sri Indrapura, maka Sulatan Siak melantik
perdana Menteri menjadi pejabat Sultan Asahan karena Rajanya telah
melarikan diri. Tidak beberapa lama kemudian berangkat pulanglah Lancang
Kuning Datuk Laksemana dan Lancang Kuning Sultan Siak. Sebelum mereka
sampai ke Siak dan Bukit Batu mereka berhenti dahulu di hulu Seneboi
yang bernama Teluk Dalam.
Disana
mereka mengadakan pesta dan berjamu atas kemenangan menaklukkan Asahan.
Disaat inilah Sultan Siak Sri Indrapura memberi gelar kepada Encik Lung
yang masih kecil itu dengan gelar Panglima Muda Lung. Tempat itu
dinamkan Raja Berjamu. Samapai sekarang nama itu dikenal orang teruma
orang –orang didaerah Sineboi, Bagan siapai-siapi dan daerah sekitarnya .
Setelah selesai acara keramaian dan pengangkatan Panglima Muda Lung, barangkatlah Sultan serta Datuk Laksemana menuju Siak Sri Indrapura. Di Siak mereka ini juga mengadakan keramaian atas kemenangan tersebut. Beberapa hari kemudian Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja/Datuk Laksemana Raja Dilauat bermohon diri pulang ke Bukit Batu. Pada kesempatan ini juga Datuk Laksemana melafaskan dua istilah kepada Sultan Siak Sri Indrapura.
1. Datuk Laksemana menjujung Duli
2. Datuk Leksemana Hilir Berderajah
Demikianlah status Datuk Laksemana Bukit Batu, semenjak pulangnya dari perang merebut Asahan.
Setelah selesai acara keramaian dan pengangkatan Panglima Muda Lung, barangkatlah Sultan serta Datuk Laksemana menuju Siak Sri Indrapura. Di Siak mereka ini juga mengadakan keramaian atas kemenangan tersebut. Beberapa hari kemudian Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja/Datuk Laksemana Raja Dilauat bermohon diri pulang ke Bukit Batu. Pada kesempatan ini juga Datuk Laksemana melafaskan dua istilah kepada Sultan Siak Sri Indrapura.
1. Datuk Laksemana menjujung Duli
2. Datuk Leksemana Hilir Berderajah
Demikianlah status Datuk Laksemana Bukit Batu, semenjak pulangnya dari perang merebut Asahan.
Keterangan dari dua kalimat tersebut sebagai berikut :
1. Datuk Laksemana Menjujung Duli/Titah aratinya ; Datuk Laksemana apabila ia pergi ke Siak Sri Indrapura menghadap Raja/Sultan. Dan cara Datuk berpakian tersendiri, apabila Datuk berpakaian Baju hitam, celana hitam, pakai topi hitam, berpedang, pada baju ada topi bulu – bulu yang berwarna putih ( merajakan diri ke Siak ).
2. Datuk Laksemana Hilir Berderajah artinya; Apabila Datuk keluar dari Sungai Siak ini, Datuk Laksemana tidak tunduk kepada Siak dengan kata lain bahwa Datuk Laksemana mampunyai kekuasaan sendiri. Cara ia berpakaian, memakai baju kurung serba hitam pakai ikat kepala ( tanjak ) berwarna hitam dan diatas tanjak tersebut ada lambang mahkota terletak diatas jangkar.
Dengan kedua acara berpakian Datuk Laksemana ini, orang-orang kempung Bukit Batu zaman dahulu sudah tahu, apakah Datuk Laksemana Hilir Berajah atau Datuk Laksemana Menjujung Titah/Duli.
Datuk Laksemana Maha Raja Lela, merasa dirinya telah tua dan kesehatannya pun sudah tidak seperti biasa lagi. Untuk penggantinya dipilihnya anak laki-lakinya yang tertua yakin Encik Khamis. Semua Panglima dan Pembesar Bukit Batu menyetujui kecuali Panglima Muda Lung, anak dari Encik Nombih, kakak dari Encik Khamis yang berkawin dengan Panglima Kusan anak dari Datuk Pulau Temelan.
Panglima Muda Lung bermaksud dialah yang seharusnya menggantikan Datuk Laksemana. Kerana ia yang berjasa dalam perang merebut Asahan. Perasaan ini penuh diungkapkan kepada Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja. Dan beliau membunuh Encik Khamis pemannya itu. Hampir-hampir peristiwa ini berlaku kalau tidak cepat-cepat Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja turun tangan menyelesaikannya. Sehingga beliau mencabut kerisnya dan menyuruh Panglima Muda Lung ( cucunya ) menikamnya, sebab dialah yang memilih anaknya Encik Khamis menjadi penggantinya. Melihat perbuatan datuknya ini Panglima Muda Lung tertegun sejenak, kemudian menjatuhkan dirinya meminta ampun atas kesilapannya itu, Peristawa ini berlaku tahun 1808 M.
Dalam pelantikan Encik Khamis menjadi Datuk Laksemana, Sultan Siak Sri Indrapura diundang untuk menggelarkan Encik Khimis ini, sesuai dengan ikrar yang telah diikrarkan semenjak Panglima Taugik dengan yang dipertuan Raja Kecil dahulu yaitu : Pengankatan/Pengelaran Sultan Siak digelar oleh keturunan Panglima Tuagik,dan Penggelaran / Pengangkatan Panglima Tuagik diangkat/digelar oleh keturunan yang Dipertuan Raja Kecil ( Sultan Siak Sri Indarapura ).
1. Datuk Laksemana Menjujung Duli/Titah aratinya ; Datuk Laksemana apabila ia pergi ke Siak Sri Indrapura menghadap Raja/Sultan. Dan cara Datuk berpakian tersendiri, apabila Datuk berpakaian Baju hitam, celana hitam, pakai topi hitam, berpedang, pada baju ada topi bulu – bulu yang berwarna putih ( merajakan diri ke Siak ).
2. Datuk Laksemana Hilir Berderajah artinya; Apabila Datuk keluar dari Sungai Siak ini, Datuk Laksemana tidak tunduk kepada Siak dengan kata lain bahwa Datuk Laksemana mampunyai kekuasaan sendiri. Cara ia berpakaian, memakai baju kurung serba hitam pakai ikat kepala ( tanjak ) berwarna hitam dan diatas tanjak tersebut ada lambang mahkota terletak diatas jangkar.
Dengan kedua acara berpakian Datuk Laksemana ini, orang-orang kempung Bukit Batu zaman dahulu sudah tahu, apakah Datuk Laksemana Hilir Berajah atau Datuk Laksemana Menjujung Titah/Duli.
Datuk Laksemana Maha Raja Lela, merasa dirinya telah tua dan kesehatannya pun sudah tidak seperti biasa lagi. Untuk penggantinya dipilihnya anak laki-lakinya yang tertua yakin Encik Khamis. Semua Panglima dan Pembesar Bukit Batu menyetujui kecuali Panglima Muda Lung, anak dari Encik Nombih, kakak dari Encik Khamis yang berkawin dengan Panglima Kusan anak dari Datuk Pulau Temelan.
Panglima Muda Lung bermaksud dialah yang seharusnya menggantikan Datuk Laksemana. Kerana ia yang berjasa dalam perang merebut Asahan. Perasaan ini penuh diungkapkan kepada Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja. Dan beliau membunuh Encik Khamis pemannya itu. Hampir-hampir peristiwa ini berlaku kalau tidak cepat-cepat Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja turun tangan menyelesaikannya. Sehingga beliau mencabut kerisnya dan menyuruh Panglima Muda Lung ( cucunya ) menikamnya, sebab dialah yang memilih anaknya Encik Khamis menjadi penggantinya. Melihat perbuatan datuknya ini Panglima Muda Lung tertegun sejenak, kemudian menjatuhkan dirinya meminta ampun atas kesilapannya itu, Peristawa ini berlaku tahun 1808 M.
Dalam pelantikan Encik Khamis menjadi Datuk Laksemana, Sultan Siak Sri Indrapura diundang untuk menggelarkan Encik Khimis ini, sesuai dengan ikrar yang telah diikrarkan semenjak Panglima Taugik dengan yang dipertuan Raja Kecil dahulu yaitu : Pengankatan/Pengelaran Sultan Siak digelar oleh keturunan Panglima Tuagik,dan Penggelaran / Pengangkatan Panglima Tuagik diangkat/digelar oleh keturunan yang Dipertuan Raja Kecil ( Sultan Siak Sri Indarapura ).
Setelah Sultan Siak Sri Indrapura datang, maka diadakanlah keramaian. Disinalah Encik Khamis digelar dengan gelar ayahnya yaitu DATUK LAKSEMANA RAJA DILAUT(datuk laksamana raja dilaut ke dua). Dan adiknya Encik Umar digelarkan dengan gelaran sesuai dengan kegagahannya yaitu Panglima Dalam. Kepada Encik Khamis, olah ayahnya diserahkan keris Tuasik sebagai pemerintahan di Bukit Batu, sedangkan Encik Umar diserahkan keris Tabe Alam sebagai seorang dari kepala Panglima.
Dalam pemerintahan sehari-hari, sebagai pembantu dari Datuk Laksemana Raja Dilaut adalah orang Kaya Negara Ibrahim dengan gelaran Singa Berantai. Dan Lancang kenaikan beliau bernama Elang Laut.
Tak
beberapa lama kemudian, Datuk Laksemana Raja Dilaut diundang pula ke
Siak Indrapura untuk penobatan atau pergelaran sultan Siak sri Indrapura
yang Ke VIII, dengan gelaran Assyaidis Syarif Ibrahim Jalil
Khaliluddin. Pengganti ayahnya Sultan Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (
Marhum Kota 1784-1810 M ). Akan tetapi sayang, Sultan yang ke VIII ini
jauh berbeda dengan ayahnya, beliau sering sakit-sakit, sehingga roda
pemerintah dipangku oleh Tengku Muhammad yang bergelar Tengku Panglima
Besar sebagai wali dari Sultan yang ke VIII ini. Pada pemerintahan
Sultan ini, Ibu Negeri dan istananya dipindahkan di Kuala Sungai Mempura
kecil. Pada masa itulah antara saudara sepupunya yaitu Tengku Ismail
dengan Putra Sultan sendiri yaitu Tengku Putra. Karena penyakit yang
selalu diidapinya, maka pada sekitar tahun 1815 M mengkatlah beliau
dengan gelar Marhum Mempura Kecil.
Sebagai penggantinya diangkatlah Tengku Ismail sebagai Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin. Pelantikan ini juga dilakukan oleh Datuk Laksemana Raja Dilaut ( Datuk Khamis ). Adapun pelantikan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin ini tidak mendapat restu dari kebanyakan pembesar – pembesar Kerajaan Siak, sebab banyak diantara pembesar yang berpihak kepada Tengku Putra. Sehingga pada waktu itu terjadilah perang saudara untuk meredakan peperangan ini Sultan Ismail meminta bantuan pada seorang petualang Inggris yang bernama Wilson sehingga dalam hal ini Tengku Putra kalah.
Tetapi bagi Wilson yang telah menanam budi kepada Sultan, beliau ini bersikap sewenang-wenang saja didalam istana sehingga pembesar-pembesar Istana mulai merasa benci terhadap Wilson ini termasuk Sultan Ismail sendiri. Maka Sultan Ismail meminta bantuan pula dari Belanda untuk mengusir Wilson dari Istana Siak Sri Indrapura.
Melihat kejadian ini Datuk Laksemana Raja Dilaut, tidak mau lagi ikut campur dalam persoalan ini. Beliau di Bukit membuat Angkatan laut yang baru dan besar yang dinamakannya KOTA BERJALAN. Kota berjalan ini terbuat dari sampan-sampan yang besar dirakit-rakitkan menjadi satu dan diberi berlantai diatasnya. Dilengkapi dengan meriam-meriam dan alat-alat peperangan yang lain, dihiasi dengan lampu-lampu sehingga berbentuk sebuah kota yang berjalan dari kuala Bukit Batu ke Kuala Sungai Siak.
Sebagai penggantinya diangkatlah Tengku Ismail sebagai Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin. Pelantikan ini juga dilakukan oleh Datuk Laksemana Raja Dilaut ( Datuk Khamis ). Adapun pelantikan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Syaifuddin ini tidak mendapat restu dari kebanyakan pembesar – pembesar Kerajaan Siak, sebab banyak diantara pembesar yang berpihak kepada Tengku Putra. Sehingga pada waktu itu terjadilah perang saudara untuk meredakan peperangan ini Sultan Ismail meminta bantuan pada seorang petualang Inggris yang bernama Wilson sehingga dalam hal ini Tengku Putra kalah.
Tetapi bagi Wilson yang telah menanam budi kepada Sultan, beliau ini bersikap sewenang-wenang saja didalam istana sehingga pembesar-pembesar Istana mulai merasa benci terhadap Wilson ini termasuk Sultan Ismail sendiri. Maka Sultan Ismail meminta bantuan pula dari Belanda untuk mengusir Wilson dari Istana Siak Sri Indrapura.
Melihat kejadian ini Datuk Laksemana Raja Dilaut, tidak mau lagi ikut campur dalam persoalan ini. Beliau di Bukit membuat Angkatan laut yang baru dan besar yang dinamakannya KOTA BERJALAN. Kota berjalan ini terbuat dari sampan-sampan yang besar dirakit-rakitkan menjadi satu dan diberi berlantai diatasnya. Dilengkapi dengan meriam-meriam dan alat-alat peperangan yang lain, dihiasi dengan lampu-lampu sehingga berbentuk sebuah kota yang berjalan dari kuala Bukit Batu ke Kuala Sungai Siak.
Nama
Kota berjalan ini termashur sampai dimana-mana. Adapun Sultan Ismail
mempunyai seorang isteri yang berketurunan Bugis, Anak Raja Lingga,
Dikarenakan Isteri beliau ini adalah Isteri kedua dari Sultan, lagi
pula kurang mendapat penghormatan dari pembesar-pembesar dan pegawai
dari kerajaan, maka beliau merasa dirinya tersingkir dari anggota
keluarga Kerajaan Siak Sri Indrapura. Didorong oleh perasaan inilah
isteri kedua dari Sultan Ismail ini berniat untuk menaklukan Kerajaan
Siak Sri Indrapura. Dan kalau hal ini behasil untuk pengganti Sultan
akan diangkat adiknya dari keturunan Raja Lingga. Tetapi maksudnya ini
dipendamnya saja bertahun-tahun lamanya. Beliau berpikir bahwa untuk
menjatuhkan Kerajaan Siak ini harus mendapatkan bantuan dari daerah luar
atau dari Lingga sendiri, sedangkan pengawalan dilaut dan dikuala
Sungai Siak ini sangat ketat sekali, dengan Armada dari Datuk Laksemana
Raja Diaut yang dinamakan kota berjalan, yang senantiasa berada dan
hilir mudik dari Kuala Bukit Batu hinggalah ke Kuala Sungai Siak.
Setelah dipikirnya masak-masak, timbullah niatnya untuk menyingkirkan Kota Berjalan ini dengan cara membujuk Sultan agar sudi meminjam kota Berjalan. Niatnya ini disampaikan kepada Sultan Ismail. Tetapi Sultan menolak maksud dari isteri kedua ini. Dengan alasan bahwa Kota berjalan itu bukanlah itu bukanlah kepunyaan Siak tetapi kepunyaan dari Datuk Laksemana Raja Dilaut Bukit Batu.
Tetapi Istri beliau tidak puas hati dengan jawaban yang dilberikan itu, dan terus membujuk, Kota berjalan itu beritakan sangat indahnya yang dilengkapi dengan alat-alat senjata yang lengkap. Karena Siak adalah suatu Kerajaan yang besar, perlu mempunyai Armanda yang demikian itu, setidak tidaknya dipinjam untuk dibuat contoh. Dikarenakan Sultan Siak sendiri belum pernah melihatnya ditambah pula dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Istri beliau ini termasuk oleh akal, maka beliau mengizinkannya. Pada tahun lebih kurang 1825 M, berangkatlah utusan dari Kerajaan Siak Sri Indrapura menuju Bukit Batu dengan membawa pesan dan surat dari Sultan kepada Datuk Laksemana. Sesampainya utusan itu ke Bukit Batu, mereka langsung menghadap Datuk Laksemana. Tanpa musyawarah lagi Datuk Laksemana menyatakan kesetujuannya bahwa Kota berjalan boleh dibawa ke Siak Sri Indra pura untuk dibuat contoh, dan berjanji pula untuk mengatarkan Kota berjalan tidak beberapa lama lagi ke Siak. Mendengar perkataan dari Datuk Laksemana ini utusan itu pulanglah ke Siak Sri Indrapura.
Setelah utusan itu pulang, datanglah adik Datuk Laksemana yang bernama Encik Umar yang bergelar Datuk Panglima Dalam menjumpai Datuk Laksemana, tentang pinjaman dari Sultan untuk membuat kota Berjalan sebagai contoh. Beliau dengan sepenuh hatinya tidak setuju dengan perbuatan dari Datuk Laksemana itu. Beliau berpendapat bahwa Kota Berjalan itu adalah suatu kemegahan bagi kita orang-orang bukit Batu, juga merupakan pertahanan dan sebagai lambang dari abang itam sendriri sebagai Datuk Laksemana Raja Dialut. Tetapi Datuk Laksemana terdiam saja. Kata sudah terungkap, pernyataan setuju sudah diikrarkan, janji harus ditepati. Tidak beberapa lamanya diantarkanlah Kota Berjalan ke Siak Sri Indrapura setelah Kota Berjalan sampai ke Siak, Istri kedua dari Sultan Ismail membuat rancangan baru. Secara diam-diam beliau mengirim utusan kepada orang-orang Salowatang utnuk meminta bantuan dalam penyerangan Bukit Batu nanti dengan perjanjian kalau Bukit Batu kalah, penggati Datuk Lakemana akan diangkat salah seorang dari Panglima Salowatang sebagai penggantinya. Hal ini disetujui oleh Panglima Salowatang ini.
Sepeninggalan Kota Berjalan dibawa masuk ke Siak Sri Indrapura yang tinggal hanya beberapa buah meriam saja seperti :
1. Meriam Sumpitan Bone yang dibawa langsung oleh Panglima Tuagik dari Bugis Bone.
2. Meriam Tupai beradu yang dibawa oleh Haji Muhammad Said dari Petapahan.
Setelah dipikirnya masak-masak, timbullah niatnya untuk menyingkirkan Kota Berjalan ini dengan cara membujuk Sultan agar sudi meminjam kota Berjalan. Niatnya ini disampaikan kepada Sultan Ismail. Tetapi Sultan menolak maksud dari isteri kedua ini. Dengan alasan bahwa Kota berjalan itu bukanlah itu bukanlah kepunyaan Siak tetapi kepunyaan dari Datuk Laksemana Raja Dilaut Bukit Batu.
Tetapi Istri beliau tidak puas hati dengan jawaban yang dilberikan itu, dan terus membujuk, Kota berjalan itu beritakan sangat indahnya yang dilengkapi dengan alat-alat senjata yang lengkap. Karena Siak adalah suatu Kerajaan yang besar, perlu mempunyai Armanda yang demikian itu, setidak tidaknya dipinjam untuk dibuat contoh. Dikarenakan Sultan Siak sendiri belum pernah melihatnya ditambah pula dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Istri beliau ini termasuk oleh akal, maka beliau mengizinkannya. Pada tahun lebih kurang 1825 M, berangkatlah utusan dari Kerajaan Siak Sri Indrapura menuju Bukit Batu dengan membawa pesan dan surat dari Sultan kepada Datuk Laksemana. Sesampainya utusan itu ke Bukit Batu, mereka langsung menghadap Datuk Laksemana. Tanpa musyawarah lagi Datuk Laksemana menyatakan kesetujuannya bahwa Kota berjalan boleh dibawa ke Siak Sri Indra pura untuk dibuat contoh, dan berjanji pula untuk mengatarkan Kota berjalan tidak beberapa lama lagi ke Siak. Mendengar perkataan dari Datuk Laksemana ini utusan itu pulanglah ke Siak Sri Indrapura.
Setelah utusan itu pulang, datanglah adik Datuk Laksemana yang bernama Encik Umar yang bergelar Datuk Panglima Dalam menjumpai Datuk Laksemana, tentang pinjaman dari Sultan untuk membuat kota Berjalan sebagai contoh. Beliau dengan sepenuh hatinya tidak setuju dengan perbuatan dari Datuk Laksemana itu. Beliau berpendapat bahwa Kota Berjalan itu adalah suatu kemegahan bagi kita orang-orang bukit Batu, juga merupakan pertahanan dan sebagai lambang dari abang itam sendriri sebagai Datuk Laksemana Raja Dialut. Tetapi Datuk Laksemana terdiam saja. Kata sudah terungkap, pernyataan setuju sudah diikrarkan, janji harus ditepati. Tidak beberapa lamanya diantarkanlah Kota Berjalan ke Siak Sri Indrapura setelah Kota Berjalan sampai ke Siak, Istri kedua dari Sultan Ismail membuat rancangan baru. Secara diam-diam beliau mengirim utusan kepada orang-orang Salowatang utnuk meminta bantuan dalam penyerangan Bukit Batu nanti dengan perjanjian kalau Bukit Batu kalah, penggati Datuk Lakemana akan diangkat salah seorang dari Panglima Salowatang sebagai penggantinya. Hal ini disetujui oleh Panglima Salowatang ini.
Sepeninggalan Kota Berjalan dibawa masuk ke Siak Sri Indrapura yang tinggal hanya beberapa buah meriam saja seperti :
1. Meriam Sumpitan Bone yang dibawa langsung oleh Panglima Tuagik dari Bugis Bone.
2. Meriam Tupai beradu yang dibawa oleh Haji Muhammad Said dari Petapahan.
Tidak
beberapa lamanya datanglah serombongan orang-orang Salowatang ini ke
Bukit Batu dengan maksud meminta pekerjaan pada Datuk Laksemana hal ini
disetujui juga oleh Datuk Laksemana. Beliau
berpendapat,
walaupun Kota Berjalan tidak ada, orang ini boleh diharapkan nanti
untuk menjaga dan mengawasi laut. Tetapi bagi Panglima Umar tidak
disetujuinya langsung perbuatan abangnya. Dan beliau pernah mengatakan
kepada abangnya itu, bahwa di Bukit Batu ini tidak kurang
Panglima-panglima yang gagah untuk menentang musuh. Kalaulah hal ini
berlaku juga tidak ada gunanya ia berada di Bukit Batu ini sebagai
kepala dari segala Panglima. Dengan adanya peristiwa inilah beliau
merajuk dan berangkat meninggalkan Bukit Batu dengan Lancang Bayannya
dan Keris Tabe Alam yang ditakuti oleh lawan dan kawan, menuju Merbau.
Kesempatan
inilah yang ditunggu-tunggu oleh orang Salowatang ini, karena mereka
tahu dengan kepergian Datuk Panglima Dalam berarti orang yang mereka
segani selama ini tidak ada lagi, bukan hanya dengan orangnya tetapi
dengan keris yang dipakainya itu yang bernama Tabe Alam yang berarti
alam tunduk padanya dengan kata lain bahwa keris Tabe Alam itu tidak ada
jantan padanya. Keris Tabe Alam ini adalah suatu keris yang dibawa oleh
Datuk Panglima Tuagik dari daerah Bone dan mempunyai keampuhan yang
luar biasa. Kena sedikit saja mengakibatkan kematian, dan bagai si
pemegangnya kalaulah ajal belum mendatang tahan bertikam selam empat
puluh hari tidak akan binasa sedikitpun. Dipangkal keris ini terdapat
suatu tanda yang dinamakan Pamor. Pamor ini bernama Paloh Api.
Pada lebih kurang tahun 1825 M, datanglah beberapa orang dari Suku Salo Watang ini menemui Datuk Laksemana yang ketika itu berada di Balai seorang diri ( Balai itu sekarang kira-kira di Muara Sungai Bukit Batu ). Kedatangan mereka ini dengan maksud ingin membunuh Datuk Laksemana. Mereka datang langsung menghunus keris dan tombak dan menusuk kepada Datuk Laksemana, tetapi dapat dielakan oleh Datuk Laksemana dengan mudah, sebab beliau ini bukanlah sembarangan orang. Beliau adalah satu-satunya murid dari Tuanku Gigi Putih yang berasal dari Sumatra Barat yang mana kuburan Datuk Gigi Putih masih dapat kita lihat disuatu tempat yang bernama Teluk Mesjid di hulu Sungai Bukit Batu, panjang kuburannya lebih kurang 7 meter.
Dengan sigap Datuk Laksemana mencabut pedang jenawinya yang senantiasa dibawanya kemana saja beliau pergi, dan langsung membabat leher orang-orang yang berada dihadapanya. Tetapi dengan tidak disangka sangka oleh Datuk Laksemana, datang lagi lebih banyak orang-orang Salowatang ini menyerbu. Datuk Laksemana bertindak dengan cepatnya seolah-olah kaki beliau tidak menginjak lantai balai tersebut yang terbuat dari batang-batang nibung yang terjalin rapi. Dalam keadaan sibuk inilah salah satu dari tombak orang Salowatang ini mengenai pending yang dipakai oleh Datuk Laksemana sebagai kepala dari ikat pinggangnya dan meleset dan mengenai perut sedikit. Tetapi tombak yang dipakai untuk menikam Datuk Laksemana itu menjadi lecet, sehingga sipenombak merasa heran sekali, disangkanya Datuk Laksemana tidak dimakan oleh senjata tajam.
Pada lebih kurang tahun 1825 M, datanglah beberapa orang dari Suku Salo Watang ini menemui Datuk Laksemana yang ketika itu berada di Balai seorang diri ( Balai itu sekarang kira-kira di Muara Sungai Bukit Batu ). Kedatangan mereka ini dengan maksud ingin membunuh Datuk Laksemana. Mereka datang langsung menghunus keris dan tombak dan menusuk kepada Datuk Laksemana, tetapi dapat dielakan oleh Datuk Laksemana dengan mudah, sebab beliau ini bukanlah sembarangan orang. Beliau adalah satu-satunya murid dari Tuanku Gigi Putih yang berasal dari Sumatra Barat yang mana kuburan Datuk Gigi Putih masih dapat kita lihat disuatu tempat yang bernama Teluk Mesjid di hulu Sungai Bukit Batu, panjang kuburannya lebih kurang 7 meter.
Dengan sigap Datuk Laksemana mencabut pedang jenawinya yang senantiasa dibawanya kemana saja beliau pergi, dan langsung membabat leher orang-orang yang berada dihadapanya. Tetapi dengan tidak disangka sangka oleh Datuk Laksemana, datang lagi lebih banyak orang-orang Salowatang ini menyerbu. Datuk Laksemana bertindak dengan cepatnya seolah-olah kaki beliau tidak menginjak lantai balai tersebut yang terbuat dari batang-batang nibung yang terjalin rapi. Dalam keadaan sibuk inilah salah satu dari tombak orang Salowatang ini mengenai pending yang dipakai oleh Datuk Laksemana sebagai kepala dari ikat pinggangnya dan meleset dan mengenai perut sedikit. Tetapi tombak yang dipakai untuk menikam Datuk Laksemana itu menjadi lecet, sehingga sipenombak merasa heran sekali, disangkanya Datuk Laksemana tidak dimakan oleh senjata tajam.
Dalam
keadaan kebingungan ini pedang Datuk Laksemana membabat putus leher
orang Salowatang ini. Orang-orang Salowatang ini makin lama makin banyak
yang datang sedangkan tempat perkelahian itu kecil, ditambah pula pada
waktu itu Datuk Laksemana luka pada perutnya. Dengan mengeluarkan suara
yang keras beliau menendang bahagian dinding Balai sehingga roboh
sebahagian. Dari sinilah Datuk Laksemana melompat keluar, sesampai
diluar beliau disambut dengan keris dan tombak dari orang-orang
Salowatang yang berada diluar. Untunglah pada saat itu datang seorang
Panglima dari Datuk Laksemana yang bernama Denuang berasal dari Rembau
Malaysia mengantar kan perisai. Dengan mempergunakan perisai inilah
Datuk Laksemana mengamuk dengan gagahnya, sehingga banyak dari orang
Salowatang ini yang menjadi korban.
Berita perkelahian ini sampai beritanya kerumah datuk Laksemana. Pada waktu itu hadir adik dari Datuk Lakseman sendiri yang bernama Encik Yusuf/Encik Ayat, orang Kaya Negara, Panglima Kenaikan dan ipar beliau Wan Umar. Mendengar perkabaran ini mereka bersiap-siap hendak berangkat, tetapi sebelum berangkat Encik Yusuf berkata kepada kakaknya Encik Mas Ayu bahwa ia ingin memakan Srikaya yang dibuat oleh kakaknya itu. Sebab didalam ramalannya beliau tidak akan hidup menjelang petang walaupun ia duduk dirumah saja. Selesai ia memakan Srikaya ini, berangkatlah Encik Yusuf/Encik Ayat beserta Panglima Kenaikan Ismaun dan orang Kaya Negara menuju tempat pertempuran tersebut. Beliau mengamuk dengan gagahnya melompat kesana kemari sambil mengibaskan pedangnya.
Berita perkelahian ini sampai beritanya kerumah datuk Laksemana. Pada waktu itu hadir adik dari Datuk Lakseman sendiri yang bernama Encik Yusuf/Encik Ayat, orang Kaya Negara, Panglima Kenaikan dan ipar beliau Wan Umar. Mendengar perkabaran ini mereka bersiap-siap hendak berangkat, tetapi sebelum berangkat Encik Yusuf berkata kepada kakaknya Encik Mas Ayu bahwa ia ingin memakan Srikaya yang dibuat oleh kakaknya itu. Sebab didalam ramalannya beliau tidak akan hidup menjelang petang walaupun ia duduk dirumah saja. Selesai ia memakan Srikaya ini, berangkatlah Encik Yusuf/Encik Ayat beserta Panglima Kenaikan Ismaun dan orang Kaya Negara menuju tempat pertempuran tersebut. Beliau mengamuk dengan gagahnya melompat kesana kemari sambil mengibaskan pedangnya.
Perlu
diketahui bahwa Encik Ayat ini seorang pendekar yang taat sekali
beribadah. Menurut sejarahnya beliau boleh melompat sejauh sekayu kain
lebih kurang 40 Yard. Tetapi walau bagaiman gagahnya kalau sudah ajal
dan maut menanti, sebuah tombak menancap di perut beliau. Karna sulit
untuk mencabut, ditariknya dari belakang sehingga tembus, dan dibalutnya
dengan kain bangkung (ikat pinggang) dan beliau mengamuk kembali.
Dengan amukan inilah orang-orang Salowatang mulai menyingkirkan diri dan
pertempuran reda. Encik Ayat jatuh terduduk dengan pedang masih
ditangan karena letih.
Akhirnya
datanglah anaknya membawa pulang kerumah datuk Laksemana. Tidak lama
kemudian datanglah Datuk Laksemana dan Panglima-panglima lainnya.
Alangkah terkejutnya Datuk Laksemana melihat keadaan adiknya itu, dengan
perasaan yang kesal beliau hendak pergi kembali ketempat peperangan
tadi dengan maksud ingin menghabiskan sisa-sisa dari orang salowatang
itu. Tetapi dinasehatkan oleh Orang Kaya Negara dan Panglima Kenaikan.
Dalam kesibukan inilah datang penjaga pantai yang mengatakan bahwa
dilaut talah banyak kapal-kapal perang musuh yang datang.
Mendengar berita ini Datuk Laksemana mengadakan musyawarah kilat dengan Orang Kaya Negara, Panglima Kenaikan Ismaun dan Panglima yang lain yang masih hidup. Atas mufakat bersama Datuk Laksemana diminta untuk mengundurkan diri dahulu, sebab beliau sekarang dalam keadaan luka dan menyelesaikan pengkebumian adik beliau Encik Ayat. Berangkatlah Datuk Laksemana kehulu Sungai Bukit Batu dan membawa jenazah Encik Ayat serta diiringi oleh Panglima Kenaikan serta beberapa orang Panglima lainnya Sedangkan pemerintahan buat sementara diwakilkan kepada Orang Kaya Negara.
Sampailah Datuk Lakseman disuatu tempat yang dinamakan Sungai Buluh, maka dikebumikanlah jenazah Encik Ayat disana dan setelah selesai pengkebumian itu Datuk Laksemana dan orang lainnya meneruskan perjalanan hingga sampai ke Dumai.
Mendengar berita ini Datuk Laksemana mengadakan musyawarah kilat dengan Orang Kaya Negara, Panglima Kenaikan Ismaun dan Panglima yang lain yang masih hidup. Atas mufakat bersama Datuk Laksemana diminta untuk mengundurkan diri dahulu, sebab beliau sekarang dalam keadaan luka dan menyelesaikan pengkebumian adik beliau Encik Ayat. Berangkatlah Datuk Laksemana kehulu Sungai Bukit Batu dan membawa jenazah Encik Ayat serta diiringi oleh Panglima Kenaikan serta beberapa orang Panglima lainnya Sedangkan pemerintahan buat sementara diwakilkan kepada Orang Kaya Negara.
Sampailah Datuk Lakseman disuatu tempat yang dinamakan Sungai Buluh, maka dikebumikanlah jenazah Encik Ayat disana dan setelah selesai pengkebumian itu Datuk Laksemana dan orang lainnya meneruskan perjalanan hingga sampai ke Dumai.
Kita
tinggalkan dahulu perjalanan Datuk Laksemana hingga sampai di Dumai.
Kita kembali dengan keadaan Bukit Batu pada saat itu. Orang-orang
Salowatang setelah menerima bantuan dari kapal-kapal perang, dan melihat
pula Datuk Laksemana sudah tidak ada lagi di Bukit Batu, meraka
memerintahlah di Bukit Batu ini selama tiga tahun dan membuat pertahanan
dipantai Bukit Batu. Tetapi yang dapat diperintahnya kebanyakan
orang-orang cina saja sedangkan ornag Bukit Batu sendiri menyingkir ke
hulu-hulu Sungai dan hutan yang terdekat, karena mereka tidak sudi
diperintah oleh orang Salowatang ini.
Masa
berjalan terus lebih kurang 3 tahun Panglima Umar meninggalkan Bukit
Batu, dalam peristiwa yang menimpa Bukit Batu itu beliau mendengar juga
dari orang-orang yang datang ke Merbau. Tetapi dibawa oleh perasaan
kesal atas tindakan abangnya itu dan dibawa oleh hati yang telah
merajuk, beliau mendiamkan diri saja. Akhirnya pada tahun 1828 M,
timbullah perasaan dalam diri Datuk Panglima Umar akan menuntut bela
pada tanah airnya yang telah diinjak oleh orang lain dan mengingat pula
atas pengorbanan adiknya Encik Ayat. Beliau menyiapkan Panglima-panglima
dari Merbau untuk menyerang Bukit Batu dari Orang-orang Salowatang.
Tidak beberapa lama kemudian berangkatlah Panglima Umar dan
Panglima-panglima dari Merbau ini dengan menaiki Lancang Bayannya.
Belum lagi Panglima Umar ini sampai di Bukit Batu baru kira-kira nampak dari Bukit Batu, orang-orang cina Bukit Batu talah mengenal Lancang beliau, meraka memberitahukan kepada orang Salowatang bahwa Panglima Umar akan datang ke Bukit Batu ini, mungkin beliau akan menuntut bela. Orang-orang Salowatang ini menanyakan kepada orang cina dari mana mereka tahu. Orang cina itu mengatakan bahwa Lancang yang berada di tengah laut itu tidak lain Lancang kepunyaan dari Datuk Panglima Dalam.
Sebab dapat dikenal pada layar dan benderanya. Yaitu bendera Putih dan layar sepasang putih. Orang kebanyakan tidak boleh memakai layar seperti ini (kalau orang biasa: layar besar putih sedangkan layar kecilnya berwarna lain atau sebaliknya). Mendengar keterangan ini orang-orang Salowatang ini mulai merasa takut. Bukan saja takut kepada kegagahan dari panglima Dalam ini yang sudah terkenal, tatapi yang diseganinya ialah keris Tabe Alam yang sekarang dipakai oleh Panglima Dalam ini, sebagai senjata ampuh yang tiada tandingan itu.
Orang-orang Salowatang itu mulailah mempersiapkan dirinya untuk menininggalkan Bukit Batu. Apa yang sempat dibawa dibawanya lari tetapi tidak sedikit pula perlengkapan mereka yang ditinggalkan begitu saja seperti meriam-meriam yang sekarang masih dapat kita lihat hampir tenggelam di muara Sungai Bukit Batu Laut. Setelah Panglima Umar dan Panglima-panglima dari Merbau sampai di Bukit Datuk, dilihatnya Bukit Batu telah sunyi dan orang-orang Salowatang tidak kelihatan lagi. Hanya tidak berapa jauh dilautan terlihat olehnya perahu orang-orang Salowatang yang ketinggalan sebuah. Maka dibawa rasa benci yang amat sangat dikejarnya perahu itu dengan Lancang Bayannya. Tidak beberapa lama perahu orang Salowatang ini dapat dikejarnya lalau Lancang Bayan merapat, dengan tangkasnya melomopatlah Panglima Umar dan beberapa Panglima lainnya kedalam perahu itu. Terjadilah pertempuran antara orang Salowatang dengan pengikut Panglima Umar. Pertempuran ini tidaklah berjalan lama, dengan mudahnya orang Salowatang yang berada didalam perahu itu habis dimusnahkannya. Perahu itu kemudiannya ditarik kembali ke Bukit Batu. Saudara pembaca yang terhormat sebagai bahan bukti, tiang tersebut masih ada pada kuburan Datuk Laksemana Ahli Akbar disamping Mesjid Bukit Batu Darat ditulis denagn tulisan Melayu Arab.
Kita kembali mengikuti kisah Datuk Lakseman yang meninggalkan Bukit Batu menuju Dumai. Setalah mencapai waktu lebih kurang 3 tahun beliau di Dumai dan Lukanya sudah sembuh. Datuk Laksemana mengumpulkan Panglima-panglima dari Dumai dan berangkat menuju Bukit Batu untuk mengambil kembali Bukit Batu dari tangan orang Salowatang. Ditengah lautan Datuk Laksemana bertemu dengan kapal perang kepunyaan orang Belanda. Beliau merapatkan lancangnya dan naik kekapal Belanda tersebut. Apabila ditanya oleh orang-orang Belanda ini kepada Datuk Lakseman, beliau menceritakan maksud beliau untuk menyerang Bukit Batu dan mengambil kembali dari tangan orang Salowatang. Belanda ingin membantu dengan syarat Datuk Laksemana mengizinkan orang Belanda mengadakan tempat persinggahan di pulau Bengkalis. Hal ini disetujui oleh Datuk Laksemana.
Berangkatlah Datuk Laksemana dengan kapal perang Belanda ini, sesampainya di kuala Bukit Batu, Kapal Belanda ini mengadakan tembakan-tembakan, sehingga Panglima Umar pada waktu itu sedang sakit, bangun dan didapatinya abangnya Datuk Laksemana ada bersama dengan orang-orang Belanda ini. Disinilah beliau mengatakan kepada abangnya : kalaulah penyakitnya ini tidak akan membawa mati tidak akan mungkin Belanda dapat bekerja sama dengan Bukit Batu. Tidak beberapa lamanya kemudian Panglima Umar pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan dan dikebumikan di samping Makam Ayahnya Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja di Pangkalan Gajah Bukit Batu.
Tinggallah Datuk Laksemana Raja Dilaut yang menjelang masa tuanya beliau merasa menyesal. Apalagi didengarnya bahwa terhadap Sultan Siak Sri Indrapura dan mengatakan bahwa Datuk Laksemana telah mengizinkan Belanda untuk tinggal di Bengkalis. Karena beliau sudah merasakan dirinya sudah tua, maka beliau merasa perlu untuk mencari penggantinya sebagai Datuk Laksemana. Maka dipilihnya anaknya yang bernama Encik Abdullah Saleh yang bergelar Datuk Laksemana Setia Diraja pada tahun 1864 M. Gelar ini diberikan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang ke IX yaitu Sultan Assyaidis Ismail Abdul Jalil Syaifuddin. Tidak berapa lama kemudian meninggallah Datuk Laksemana Raja Dilaut (Datuk Khamis) dan dikebumikan di Kampung Teluk Belanga daerah Bukit Batu Darat.
Tidak berapa lama Datuk Laksemana Setia Diraja ini memegang pemerintahan di Bukit Batu, beliau diundang pula ke Siak Sri Indrapura untuk penobatan dan penggelaran Sultan Siak Sri Indrapura yang ke X yaitu Tengku Panglima Besar Syaiyid Kasim dengan gelar Sultan Assyaidis Kasim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1864 M.
Belum lagi Panglima Umar ini sampai di Bukit Batu baru kira-kira nampak dari Bukit Batu, orang-orang cina Bukit Batu talah mengenal Lancang beliau, meraka memberitahukan kepada orang Salowatang bahwa Panglima Umar akan datang ke Bukit Batu ini, mungkin beliau akan menuntut bela. Orang-orang Salowatang ini menanyakan kepada orang cina dari mana mereka tahu. Orang cina itu mengatakan bahwa Lancang yang berada di tengah laut itu tidak lain Lancang kepunyaan dari Datuk Panglima Dalam.
Sebab dapat dikenal pada layar dan benderanya. Yaitu bendera Putih dan layar sepasang putih. Orang kebanyakan tidak boleh memakai layar seperti ini (kalau orang biasa: layar besar putih sedangkan layar kecilnya berwarna lain atau sebaliknya). Mendengar keterangan ini orang-orang Salowatang ini mulai merasa takut. Bukan saja takut kepada kegagahan dari panglima Dalam ini yang sudah terkenal, tatapi yang diseganinya ialah keris Tabe Alam yang sekarang dipakai oleh Panglima Dalam ini, sebagai senjata ampuh yang tiada tandingan itu.
Orang-orang Salowatang itu mulailah mempersiapkan dirinya untuk menininggalkan Bukit Batu. Apa yang sempat dibawa dibawanya lari tetapi tidak sedikit pula perlengkapan mereka yang ditinggalkan begitu saja seperti meriam-meriam yang sekarang masih dapat kita lihat hampir tenggelam di muara Sungai Bukit Batu Laut. Setelah Panglima Umar dan Panglima-panglima dari Merbau sampai di Bukit Datuk, dilihatnya Bukit Batu telah sunyi dan orang-orang Salowatang tidak kelihatan lagi. Hanya tidak berapa jauh dilautan terlihat olehnya perahu orang-orang Salowatang yang ketinggalan sebuah. Maka dibawa rasa benci yang amat sangat dikejarnya perahu itu dengan Lancang Bayannya. Tidak beberapa lama perahu orang Salowatang ini dapat dikejarnya lalau Lancang Bayan merapat, dengan tangkasnya melomopatlah Panglima Umar dan beberapa Panglima lainnya kedalam perahu itu. Terjadilah pertempuran antara orang Salowatang dengan pengikut Panglima Umar. Pertempuran ini tidaklah berjalan lama, dengan mudahnya orang Salowatang yang berada didalam perahu itu habis dimusnahkannya. Perahu itu kemudiannya ditarik kembali ke Bukit Batu. Saudara pembaca yang terhormat sebagai bahan bukti, tiang tersebut masih ada pada kuburan Datuk Laksemana Ahli Akbar disamping Mesjid Bukit Batu Darat ditulis denagn tulisan Melayu Arab.
Kita kembali mengikuti kisah Datuk Lakseman yang meninggalkan Bukit Batu menuju Dumai. Setalah mencapai waktu lebih kurang 3 tahun beliau di Dumai dan Lukanya sudah sembuh. Datuk Laksemana mengumpulkan Panglima-panglima dari Dumai dan berangkat menuju Bukit Batu untuk mengambil kembali Bukit Batu dari tangan orang Salowatang. Ditengah lautan Datuk Laksemana bertemu dengan kapal perang kepunyaan orang Belanda. Beliau merapatkan lancangnya dan naik kekapal Belanda tersebut. Apabila ditanya oleh orang-orang Belanda ini kepada Datuk Lakseman, beliau menceritakan maksud beliau untuk menyerang Bukit Batu dan mengambil kembali dari tangan orang Salowatang. Belanda ingin membantu dengan syarat Datuk Laksemana mengizinkan orang Belanda mengadakan tempat persinggahan di pulau Bengkalis. Hal ini disetujui oleh Datuk Laksemana.
Berangkatlah Datuk Laksemana dengan kapal perang Belanda ini, sesampainya di kuala Bukit Batu, Kapal Belanda ini mengadakan tembakan-tembakan, sehingga Panglima Umar pada waktu itu sedang sakit, bangun dan didapatinya abangnya Datuk Laksemana ada bersama dengan orang-orang Belanda ini. Disinilah beliau mengatakan kepada abangnya : kalaulah penyakitnya ini tidak akan membawa mati tidak akan mungkin Belanda dapat bekerja sama dengan Bukit Batu. Tidak beberapa lamanya kemudian Panglima Umar pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan dan dikebumikan di samping Makam Ayahnya Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja di Pangkalan Gajah Bukit Batu.
Tinggallah Datuk Laksemana Raja Dilaut yang menjelang masa tuanya beliau merasa menyesal. Apalagi didengarnya bahwa terhadap Sultan Siak Sri Indrapura dan mengatakan bahwa Datuk Laksemana telah mengizinkan Belanda untuk tinggal di Bengkalis. Karena beliau sudah merasakan dirinya sudah tua, maka beliau merasa perlu untuk mencari penggantinya sebagai Datuk Laksemana. Maka dipilihnya anaknya yang bernama Encik Abdullah Saleh yang bergelar Datuk Laksemana Setia Diraja pada tahun 1864 M. Gelar ini diberikan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang ke IX yaitu Sultan Assyaidis Ismail Abdul Jalil Syaifuddin. Tidak berapa lama kemudian meninggallah Datuk Laksemana Raja Dilaut (Datuk Khamis) dan dikebumikan di Kampung Teluk Belanga daerah Bukit Batu Darat.
Tidak berapa lama Datuk Laksemana Setia Diraja ini memegang pemerintahan di Bukit Batu, beliau diundang pula ke Siak Sri Indrapura untuk penobatan dan penggelaran Sultan Siak Sri Indrapura yang ke X yaitu Tengku Panglima Besar Syaiyid Kasim dengan gelar Sultan Assyaidis Kasim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1864 M.
Didalam pemerintahan Datuk Laksemana Setia Diraja ini tidaklah banyak mengalami peperangan baik diluar maupun didalam daerah Bukti Batu. Dan Belanda pada saat itu sudah mempunyai pengaruh yang besar sekali, bukan saja di daerah Bukit Batu, Bengkalis tetapi meliputi kerajaan siak Sri Indrapura sendiri.
Dan
Belanda telah menjamin akan keselamatan dari serangan-serangan dari luar
baik terhadap kerajaan Siak maupun daerah dari Bukit Batu. Dengan
adanya perjanjian ini, maka Datuk Laksemana Setia Diraja tidak perlu
lagi membuat Angkatan Laut seperti yang dilakukan oleh Datuk Laksemana
sebelumnya. Beliau memusatkan perhatianya pembangunan dibidang
pertanian. Membuka hutan-hutan baru untuk dijadikan perkebunan sampailah
ke Bukit Datuk Daerah Dumai.
Pada
tahun 1889 M. Datuk Laksemana Setia Diraja ini diundang sekali lagi ke
Siak Sri Indrapura untuk penobatan Sultan Siak Sri Indrapura yang XI,
yaitu Tengku Ngah Syarif Hasyim dengan gelar Assyaidis Syarif Hasyim
Abdul Jalil Syaifuddin, menggantikan Sultan Syarif Kasim Abdul Jalil
Syaifuddin yang telah mangkat. Setelah mangkat digelar Marhum Mahkota .
Datuk
Laksemana Abdullah Saleh pada masa itu sudah merasa dirinya berumur
lanjut ( uzur ), dan sudah masanya beliau mencari penggantinya sebagai
Datuk Laksemana Bukti Batu. Mula-mula Datuk Laksemana ini menunjuk
anaknya yang tertua yang bernama Encik Abdul Ghapur. Tetapi Encik Abdul
Ghapur ini dalam keadaan sakit, sedangkan pengakatan Datuk Laksemana ini
harus dilakukan dengan secepatnya. Maka ditunjuknya adik dari Encik
Abdul Ghapur yang bernama Encik Ali Akbar sebagai pengganti Laksemana
Bukit Batu dengan gelar Datuk Laksemana Setia Diraja(yang ke empat),
sebagai mana gelar dari ayahnya. Penggelaran ini juga dilakukan oleh
Sultan Syarif Hasyim Sultan Siak Sri Indrapura yang ke XI.
Pada
tahun 1908 M. Datuk Laksemana Ali Akbar ini berangkat ke Siak untuk
menghadiri pemakaman dari Sultan Syarif Hasyim yang mangkat diluar
Negeri. Setelah mangkat beliau digelar Marhum Baginda. Sedangkan waktu
itu sebagai pengganti Sultan ini tidak berada di Siak Sri Indrapura.
Beliau masih dalam sekolahnya di Batavia. Untuk sementara pemerintahan
dipegang oleh Tengku Besar dan Datuk Lima Puluh sebagai Wali dari Tengku
Putra Syarif Kasim.
Pada
tahun lebih kurang 1910 M, beliau baru kembali ke Siak Sri Indrapura.
Dan pada tahun 1912 M Tengku Putra Syarif Hasyim melangsungkan
perkawinannya dengan Tengku Syarifah Latifah Putri dari Langkat. Barulah
pada tahun 1915 M, beliau dinobatkan menjadi Sultan Siak Sri Indrapura
dengan gelar Assyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syaifuddin, dan
Istri beliau ditabalkan menjadi Sultanah dengan gelar Assyidah Syarifah
Latifah ( Tengku Agung ). Pelantikan dan penggelaran ini dilakukan oleh
Datuk Laksemana Setia Diraja sebagai keturunan dari Datuk Panglima
Tuagik.
Pada
tahun 1925 M, beliau datang berkunjung ke Bukit batu. Waktu itu tempat
semayam dari Datuk Laksemana Ali Akbar sudah berada di Bukti Batu Darat.
Karena pengaruh Belanda sudah meraja lela di daerah kita ini dan atas kelicikannya maka daerah Siak Sri Indrapura dibagi atas Distrik-Distrik termasuk Bukit Batu dan dengan kelicikannya itu pula gelar Laksemana dicabut dengan alasan tidak diadakan dua gelar Laksemana di Hindia Belanda ini, hanya satu yaitu di Batavia.
Karena pengaruh Belanda sudah meraja lela di daerah kita ini dan atas kelicikannya maka daerah Siak Sri Indrapura dibagi atas Distrik-Distrik termasuk Bukit Batu dan dengan kelicikannya itu pula gelar Laksemana dicabut dengan alasan tidak diadakan dua gelar Laksemana di Hindia Belanda ini, hanya satu yaitu di Batavia.
Pada
tahun 1928 M, gelar Datuk Laksemana Sudah tidak ada lagi, dan dengan
sendirinya Datuk Ali Akbar memohon agar beliau diberhentikan. Tetapi
walaupun Datuk Ali Akbar ini berhenti menjadi Laksemana dalam hal
pengangkatan penggelaran dari Sultan masih dilakukan oleh beliau. Ini
terjadi pada masa penggelaran permaisuri dari Sultan Syarif Kasim Sani
Abdul Jalil Syaifuddin yaitu Syarifah Fadlun pengganti dari Assyidah
Syarifah Latifah yang telah mangkat. Gelar yang diberikan kepada
Syarifah Fadlun ini ialah Tengku Maha Ratu pada tahun 1930.
Pada
masa beliaulah adanya penututan atas kurnia yang telah diberikan oleh
Sultan Siak Sri Indrapura kepada Datuk Ali Akbar ( dalam Politik Kontrak
). Tuntutan ini dilakukan kepada Lanschafe Siak mengenai istilah
kata-kata kurnia. Yaitu pemberian hadiah berupa hutan, tanah dan segala
hasilnya. Sepanjang sejarah yang diketahui oleh penulis tuntutan
tersebut sampai kepada pengadilan tinggi yang pada waktu itu berada di
Medan ( Sumut ). Karena hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh
Landraat Bengkalis karena tuntutan tersebut belum dapat diselesaikan
tiba-tiba perang Asia Timur meletus, persoalan itu terhenti saja sampai
saat ini. Datuk Ali Akbar menginggal dunia pada tahun 1955, dan
dikebumikan di Samping Mesjid di Bukti Batu Darat.
P e n u t u p
Demikianlah penulisan Sejarah Datuk Laksemana Bukit Batu sepanjang catatan singkat dari Keluarga beliau yang dapat kami kumpulkan.
Semoga pembaca dapat serba sedikit mengambil kesimpulan tentang hubungan Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan Datuk Laksemana Bukit Batu.
TOKOH TOKIH YANG IKUT MEMBANTU DALAM PENYUSUNAN SEJARAH DATUK LAKSEMANA RAJA DILAUT. DIBUKIT BATU.
P e n u t u p
Demikianlah penulisan Sejarah Datuk Laksemana Bukit Batu sepanjang catatan singkat dari Keluarga beliau yang dapat kami kumpulkan.
Semoga pembaca dapat serba sedikit mengambil kesimpulan tentang hubungan Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan Datuk Laksemana Bukit Batu.
TOKOH TOKIH YANG IKUT MEMBANTU DALAM PENYUSUNAN SEJARAH DATUK LAKSEMANA RAJA DILAUT. DIBUKIT BATU.
- Encik Oemar Ali bin Encik Kelana Jaya - Encik Oemar / Panglima Oemar juga begelar Panglima Dalam bin Datuk Sri Maharaja Lele Setia Diraja juga bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut, bin Datuk Bandar Jamal Bin Panglima Tuagik.
- Encik Jamal binDatuk Idris bin Datuk Aloi Akbar bergelar datuk Laksamana Setia Diraja bin Datuk Khamis bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut bin Datuk Ibrahim gelar Datuk Srimaharaja Lela Setia diraja juga bergelar Laksamana Raja Dilaut bin Datuk Bandar Jamal (Datuk Ketapang) bin Panglima Tuagik
- Encik Tarmizi bin Encik Oemar bin Encik Yung binti Encik Yuk bin Encik Oemar bergelar Panglima Dalam bin Encik Ibrahim bergelar Datuk Srimaharaja Lela Setia Diraja juga bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut bin Datuk Bandar Jamal bin Datuk Panglima Tuagik.
- W.A.Rahzain bin W.A.Rahim Iskandar bin W.A.Rahman bin W.Ahmad bin W.Said binti Encik Mas Ayu bin Datuk Ibrahim gelar Datuk Sri Maharaja Lela Setia Diraja juga bergelar Datuk Laksamana Raja Dilaut bin Datuk Bandar Jamal bin Panglima Tuagik.
- kutipan dari mulut ke mulut orang tua tua yang tahu cerita sejarah Bengkalis
- kutipan dari Ahmad Fadilah SE.
Mohon masukannya master tentang sejarah Datok gigi putih...
BalasHapus