MELAYU



M E L A Y U
Melayu bahasanya
Melayu adat istiadatnya
Islam agamanya.
Bicara MELAYU
Bicara: orang perorang, puak, suku, bangsa hingga ras. Ini tidak bisa diubah dan takkan pernah berubah. Sekali Melayu - tetap Melayu. Hingga bilapun: Takkan Melayu hilang di dunia.
Identitas di KTP, mulai dari nama, tempat tanggal lahir, pekerjaan dan alamat bahkan agamapun bisa diubah serta berubah. Apatah lagi politik dan haluan politik. Tapi tidak pada suku/etnik yang terikat tali darah yang diwarisi secara turun temurun. MENCELA SUKU - DARAH SUKATANNYA.
Politik Melayu tiada tipu helah
Setia menjunjung daulat dan wilayah
Politik Melayu berasas siyasah syariah
Kepatuhan Melayu hanya kepada Allah
Berbicara MELAYU
Membicarakan: lingkungan wilayah tempat tinggal koloni Melayu yakni Kepulauan Melayu (Malay archipelago) nusantara yang terbentang mulai dari perbatasan Pulau Okinawa di Utara sampai ke Kepulauan Paskah di Selatan; dari Pulau Madagaskar di Barat hingga Salandia Baru di Timur.
Pembicaraan tentang MELAYU
Membicarakan ALAM dan DUNIA MELAYU sebagai entitas budaya sekaligus sebagai identitas yang tercermin dari rasa dan fikir, perkataan dan perbuatan, sikap dan sifat yang tertata dalam sistem norma ...
Segala ungkapan berkonotasi negatif tentang Melayu adalah ucapan pemecah belah para penjajah haram jadah !
SILAHKAN MEMPERKATAKAN MELAYU
JANGAN COBA COBA MENGATAI MELAYU
BURUK PADAHNYA.
ARUK DAN AMUK MELAYU
Bila capal sudah dipakai
Pantang undur menghindar tikai
Pabila baju kurung sudah dipersalinkan
Harkat dan Marwah jadi taruhan
Apabila kain sampin telah tersarung
Berani ke gelanggang siap bertarung
Bilamana tanjak sudah di kepala
Takkan tunduk melawan angkara murka
Tersebab keris sudah tercabut
Takkan tersarung menantang maut.
Khola I'fal Ardi Ali
HUBUNGAN “MALAI” PADI DENGAN ASAL KATA DAN ARTI "MELAYU"
9 Juni 2014 pukul 14:57
Ketika seorang mahasiswi Jurusan Pertanian Program Studi Agroteknologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim melaksanakan ujian sarjana (munaqasah) dengan judul skripsi “Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo (Oryza Sativa L.) pada Media Gambut dalam Kondisi Ternaungi” pada 9 Juni 2014 (pukul 08.00 sampai 10.30 WIB). Selaku Ketua Penguji, saya membuka dan memulai Tanya-jawab. Hal yang menarik sekaligus menjadi renungan saya adalah ketika membicarakan tentang kata “malai”.
Yang menarik perhatian saya, bukan pembicaraan tentang prihal: Saat daun muncul ketika perkecambahan (calioptile), kalioptil keluar dari benih yang disebar dan akan memanjang terus sampai permukaan air. koleoptil baru membuka, kemudian diikuti keluarnya daun pertama, daun kedua dan seterusnya hingga mencapai puncak yang disebut daun bendera. Daun bendera merupakan daun yang lebih pendek daripada daun-daun di bawahnya, namun lebih lebar daripada daun sebelumnya. Daun bendera ini terletak di bawah “malai” padi, karena apabila kata “malai” ini di transliterasi kedalam aksara Arab Melayu terdiri dari huruf dasar (م); (ل) dan (ي) menjadi = مـلـي . Saya coba menganalisa kembali hubungan istilah “malai” dengan asal kata dan makna “Melayu” pada tulisan saya dalam buku Bahasa dan Aksara Melayu Nusantara. Pekanbaru: Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Riau, 2010.
Dalam buktu tersebut saya telah menuliskan: “Dari berbagai literatur didapati, penggunaan istilah "Melayu" muncul buat pertamakali kira-kira 100-150 Masihi dalam karya Ptolemy, Geographike Sintaxis, yang menggunakan istilah "maleu-kolon". G. E. Gerini menganggap istilah itu berasal dari perkataan Sanskrit, iaitu malayakom atau malaikurram, yang merujuk kepada Tanjung Kuantan di Semenanjung Malaysia. Sebaliknya, Roland Bradell menganggap tempat itu merujuk kepada Tanjung Penyabung”.
“Kata Malaya Dvipa didapati dalam kitab Purana, (sebuah kitab Hindu purba yang ditulis sebelum zaman Gautama (Buddha) hingga tahun 500 Masehi). Kata Dvipa mempunyai arti tanah yang dikelilingi air. Berdasarkan keterangan yang lain dalam kitab tersebut, para pengkaji beranggapan bahwa Malaya Dvipa ialah pulau Sumatera. Istilah Dvipa juga ditemukan pada arsip tua India, Kathasaritsagara, sekitar tahun 600 Masehi, mencatat perjalanan seorang Brahmana mencari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa (pulau kelapa diduga Sumatera) dengan rute Ketaha (Kedah-Malaysia), menyusuri pantai Barat hingga ke Karpuradvipa (Barus)”.
“Dalam tulisan Cina (Tiongkok) memberitakan pada suatu masa dahulu, ada utusan yang mempersembahkan hasil bumi kepada Kaisar Tiongkok yang datangnya dari Kerajaan Mo-lo-yeu. Berita Cina ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 644 M. Lokasi kerajaan Mo-lo-yeu tersebut dipercayai tempatnya disekitar wilayah Sumatra bagian tengah”.
“Perkataan yang hampir sama ditemui pula dari keterangan seorang rahib Budha bernama It-Shing. Beliau pernah singgah dan mendalami agama di Sriwijaya sebelum ia sampai di Benggala (India) untuk mempelajari agama Budha di Universiti Nalanda (675 - 685 M). Dalam salah satu catatannya ditemui perkataan Malayu. Terjemahan catatannya itu ialah: "Tatkala berkunjung ke Sumatera, menemukan dua kerajaan besar, yaitu kerajaan Malayu yang berpusat di Sungai Batang (Batanghari) dan Sriwijaya sekitar Fu-lim-pang (Parlembang = Palembang)”.
“Buku Cina lain ada mencatat perkataan yang hampir sama ialah buku Ta Dang Si Yi Chiu Fia Kao Cheng Zhuan. Di dalam buku ini terdapat perkataan Mo Lou Yu. Buku Hai Nan Chi Guai Nun Fa Zhuan terdapat perkataan Mo Lou Yü (u terdapat dua titik)’.
“Perkataan Wu Lai Yu terdapat di dalam buku Hai Lu Chu dan buku Zheng He Hang Hai Tu. Chen Chung Shin yang menulis buku Tong Nan Ya Lien Guo Zhi (Negeri-negeri di Asia Tenggara) menyatakan bahawa orang Melayu di Semenanjung Tanah Melayu mendapatkan namanya dari perkataan Mo Lo Yu, tetapi orang Cina pada masa itu ada yang menyebutnya sebagai Ma Li Yi Er, Wu Lai Yu, dan Ma La Yu”.
“Pada tahun 692, Mo-lo-yu menjelma menjadi Sriwijaya, sebuah kerajaan yang telah mengembangkan kekuasaannya dan menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumara. Beberapa literature menyebutkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Minanga Tamwa yaitu daerah pertemun Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri (Riau). Ini juga diperkuat dengan letak kerajaan Srwijaya di daerah khatuliswa dan adanya penemuan arkheologi Candi Muara Takus yang diperkirakan dibangun pada abad ke-7 Masehi”.
“Perkataan Malayu juga tertulis di bahagian belakang sebuah patung yang ditemui di Padang Rocore di kawasan Sungai Batanghari (Jambi) bertarikh 1286 M. Dan di dalam buku Sejarah Melayu perkataan Melayu dihubungkan dengan nama sebatang sungai, yaitu Sungai Melayu. Perhatikan petikan yang berikut ini: "Kata sahibul hikayat ada sebuah negeri di tanah Andelas (sekarang disebut Sumatera), Parlembang namanya: Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak cucu Raja Suran, Muara Tatang nama sungainya. Adapun nama Perlembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka di hulu Muara Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya".
“Harun Aminurrashid mengatakan bahawa "...bangsa yang bernama Melayu itu diam di sebuah kawasan anak sungai yang bernama Sungai Melayu di hulu Sungai Batanghari (sungai di Jambi). Di kawasan hulu Sungai Jambi itulah dahulu pada kira-kira 1.500 tahun lebih, telah ada sebuah Kerajaan Melayu sebelum ada dan semasa terkenal Kerajaan Sriwijaya atau Palembang Tua .... Kerajaan Sriwijaya telah mengalahkan Kerajaan Melayu sekitar abad ke-7 M. Walaupun dari segi pemerintahan Kerajaan Melayu kalah, tetapi bahasa Melayu terus berkembang dan digunakan bersama semasa menggunakan bahasa Sanskerta, yaitu bahasa resmi pemerintahan Sriwijaya. Malahan pada Batu Bersurat Kartanegara yang dijumpai di Sungai Langsat bertarikh 1208 Tahun Saka, ditemui perkataan Malayapura yang artinya Kerajaan Melayu".
“Secara harfiyah, kata melayu terdiri dari tiga suku kata; me–la–yu. Bila ditranskrip kedalam huruf Arab atau aksara Jawi, akan didapati tiga konsonan , yaitu; م – ل - ي : مـلـي . Sebagaimana lazimnya pola kata dasar sebagian besar kosakata bahasa Melayu yang umumnya terdiri dari tiga konsonan ini mempunyai kesamaan dengan pola kata Arab/Semit yang memiliki watak linguistic triliteralitas, yaitu kata-katanya terdiri dari akar tiga konsonan”.
“Oleh karena aksara Jawi tidak berbaris, maka kata tersebut dapat dibaca: Malayu / Melayu / Mulayu, dan atau Malaya / Melaya / Mulaya. Tidak lazim kata dasar tunggal yang diakhir katanya huruf ya (ي) dibaca dengan bunyi baris bawah (malayi). Malah lebih cenderung huruf akhir tersebut disukunkan (dimatikan) dengan bacaan: Malay”.
Dari tiga konsonan atau huruf dasar tersebut, apabila diperhatikan ejaannya, terdapat beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Mala-yu/Mela-yu/Mula-yu
“Akar kata mala mengandung beberapa pengertian: Pertama, pengertian yang tidak baik, seperti pada kata-kata malapetaka. Arti dasar kata mala, bermakna: bau busuk (biasanya berupa bau yang ditimbulkan oleh bangkai). Dalam ungkapan Melayu lama ada didapati rangkaian kata: mala lalu dibawa singgah. Artinya: Orang yang kurang akal atau ceroboh maupun suka mencari masalah secara sengaja atau tidak sengaja mengambil/membawa/mengajak sesuatu yang buruk atau berbahaya sehingga menyusahkan dirinya sendiri serta orang lain”.
“Kedua, kata mala = mela/mula bermakna: awal/mula/pertama-utama, seperti pada kata-kata: malahayati = melahayati/mulahayati (awal/mula kehidupan; kehidupan yang pertama-utama); rasamala, maksudnya rasamula (rasa yang asal/awal/mula/pertama-utama)”.
“Dari perbandingan makna kata mala/mela/mula tersebut, beta lebih cenderung pada pengertian asal/awal/mula/pertama-utama. Apabila kata mala/mela/mula digabungkan dengan kata yu (negeri/tempat), maka diperoleh pengertian: negeri / tempat - asal / awal / mula / pertama/utama - orang / bangsa Austronesia”.
2. Ma-la-yu
“Kata Melayu mempunyai hubungan dengan nama tempat yaitu sungai Melayu nama sungai di kaki bukit Siguntang Mahameru di daerah Parlembang yang merupakan daerah asal usul sejarah raja-raja Melayu sebagaimana termaktub dalam kitab Sejarah Melayu. Kata Melayu juga berhubungan dengan nama kerajaan Melayu kuno yang pernah wujud di wilayah Sumatra bagian tengah (sekitar Jambi sekarang)”.
“Bukti-bukti historis keberadaan Kerajaan Melayu di Jambi dapat ditelusuri lewat naskah-naskah kuno terutama melalui catatan-catatan ekspedisi Cina ke bumi Nusantara yang seringkali mengacu secara khusus akan eksistensi kerajaan ini di Sumatera. Catatan orang China menyatakan bahwa kerajaan Mo-lo-yeu mengirim utusan mempersembahkan hasil bumi kepada raja China sekitar 644 - 645 Masehi”.
“Naskah dari Cina yang lain juga sekitar abad ke-7 yang ditulis oleh Rahib Budha bernama It-Shing menyebutkan kerajaan Ma-La-Yu yang disinggahinya pada tahun 675 M. Musafir Cina ini mencatat tentang adanya seribu orang Biarawan Budha di Sriwijaya, dan menasehati musafir sebangsanya yang hendak belajar ke India agar singgah dan belajar dahulu kepada guru-guru di Sriwijaya, karena menurutnya perkembangan Sriwijaya tidak hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang bahasa”.
3. Ma-la-ya
“Kata Malaya berhubungan dengan nama daerah, yaitu pegunungan Himalaya. Kata ini merupakan gabungan dari kata Hi dan Malaya. Hi, bermakna panggilan untuk orang, sedang Malaya bermakna Melayu. Jadi Himalaya berarti orang Melayu. Pegunungan Himalaya maksudnya pegunungan orang Melayu. Hal ini sangat munasabah karena di sekitar kaki bukit pegunungan Himalaya itulah tempat asal keturunan bangsa Melayu”.
“Selain itu juga terdapat sebutan Semenanjung Malaya yaitu Semenanjung Tanah Melayu (mulai dari Kelantan di Utara sampai ke Melaka di Selatan Malaysia). Semenanjung Malaya merupakan salah satu daerah tujuan migrasi bangsa Melayu yang berasal dari daerah kaki gunung Himalaya. sebelum abad ke-14 dikenal dengan nama Suvarnabhumi, secara historis merupakan wilayah yang baru ter-malayanisasi (malayanized) sekitar abad ke-7, ketika Kerajaan Sriwijaya mulai mencapai kejayaannya dan melakukan invasi ke Utara dari wilayah Palembang”.
“Pengaruh kuat dari Kerajaan Sriwijaya terhadap Semenanjung Malaya bahkan juga dipaparkan secara cukup rinci dalam naskah sastra Sejarah Melayu (Malay Annals) yang seringkali dijadikan acuan historis utama hal ihwal kemelayuan, terutama di Malaysia. Dalam karya sastra ini, pada awalnya sekali dijelaskan bagaimana pangeran-pangeran dari Sriwijaya (Sri Tri Buana, Parameswara) mendirikan kerajaan-kerajaan Melayu di wilayah semenanjung seperti di Temasek (sekarang Singapura). Lalu keturunan-keturunan dari raja-raja tersebut selanjutnya mendirikan Kerajaan Melaka di awal abad ke-15”.
“Disamping itu ada pula pendapat yang menyatakan bahwa kata Malaya merupakan kata yang berasal dari kata Malaiyur. Kata Malaya atau Malai itu sendiri ternyata memiliki arti dalam bahasa Sanskerta dan Tamil, yaitu bukit atau tanah yang tinggi, sementara "ur" sendiri dalam Bahasa Tamil berarti "kota". Oleh karena itu, transliterasi "Malaiyur" tidak lain kurang lebih berarti "kota di bukit". Hipotesis ini diperkuat oleh adanya prasasti Chola Tanjore (1030-31 M) dan prasasti Padang Rocore (1286 M) yang menyatakan bahwa Kerajaan Melayu berpusat di wilayah yang dibentengi perbukitan”.
“Dari naskah-naskah kuno yang ada yang notabene merujuk Sumatera sebagai awal peradaban Melayu. Selain itu, bila saja kita mau jeli mencermati wilayah geografis Jambi secara lebih menyeluruh, kita akan menemukan daerah perbukitan di pedalamannya. lebih ke arah hulu Sungai Batang Hari. Adapun, ahli sejarah Indonesia, Prof. Slamet Muljana mengajukan hipotesis bahwa wilayah Muara Tebo yang lebih berbukit-bukit di Jambi, yang dulunya bernama Minanga Tamwa sesuai prasasti Kedukan Bukit, merupakan pusat Kerajaan Melayu, bukan justru dekat kota Jambi di muara Sungai Batang Hari”.
4. Me-layu/Mu-layu
“Akar kata layu mengandung beberapa pengertian. Dapat berarti: layu = lari/berlari ; bergerak/berjalan secara cepat (dalam bahasa Jawa). Pengertian ini paling umum difahami publik terutama dikalangan masyarakat Jawa. Apabila pengertian layu = lari/berlarti ini dihubungkan dengan keberadaan suku/bangsa Melayu yang pada awal migrasi melakukan pengembaraan secara besar-besaran sampai mereka mendapatkan tempat menetap yaitu di nusantara, maka pengertian dapat diterima”.
“Bahkan apabila kita telusuri lebih lanjut; walaupun suku-bangsa Melayu telah bermustautin secara tetap di suatu wilayah dalam wilayah nusantara, namun kebiasaan mereka yang senantiasa berlari (bergerak/berpindah) dari suatu tempat ke tampat yang lain dalam aktifitas perniagaan dan perdagangan, penyebaran agama dan pendidikan, bahkan sampai pada sebab dan akibat peperangan atau bencana alam semakin menguatkan pengertian ini”.
“Kata layu juga dapat bermakna menggambarkan keadaan tumbuh-tumbuhan dan/atau buah-buahan yang layu. Secara tersurat, pengertian ini mengandung dan mengundang makna yang kurang baik, karena apabila tumbuh-tumbuhan atau buah-buahan dalam keadaan layu berarti; tidak segar, lemah, lunglai, runduk, lisut, tidak bermaya. Jika dibiarkan akan gugur atau mati”.
“Sedangkan secara tersirat kata layu menyimpan makna yang bersifat majaz. Makna ini sebenarnya menggambarkan sifat, sikap dan kepribadian suku-bangsa Melayu yang bersifat merendah, tidak membesar-besarkan diri, sebagaimana anjuran atau nasehat orangtua menyatakan:
Mari tiru resam padi;
makin runduk/tunduk bila berisi.
Filosofi kata “layu” bagi orang Melayu sebagaimana yang dimajazkan pada tabiat padi, sesuai dengan kesimpulan: padi dikatakan sudah siap panen bila butir gabah yang menguning sudah mencapai sekitar 80 % dan tangkainya sudah menunduk. “Tangkai padi merunduk karena sarat dengan butir gabah bernas”. Tegasnya: bila bulir-bulir padi masih hijau (stadia awal = stadia “masak susu” 10-18 hari setelah ebrbunga merata) menunjukkan keadaan bulir tersebut belum padat berisi sehingga tangkainya tegak. Tetapi apabila bulir-bulir tersebut mulai berisi maka warnanya mulai menguning “me-layu” (stadia “masak penuh” 7 hari setelah stadia masak kuning); makin padat isinya semakin kuning warnanya, semakin tunduk/runduk pula tangkainya. Metafor yang terdapat pada tabiat alamiah padi tersebut merupakan adat dari Sunnatullah sehingga menjadi resam yag patut dan layak untuk ditiru.
Menurut saya: ada hubung kait antara asal kata dan makna “Melayu” dengan kata “malai”. Malai adalah sekumpulan bunga padi (spikelet) yang keluar dari buku paling atas. Bulir-bulir padi terletak pada cabang pertama dan kedua, sedangkan sumbu utama malai adalah ruas buku terakhir pada batang. Jumlah cabang pada setiap malai berkisar antara 15-20 buah, yang paling rendah 7 buah cabang, dan yang terbanyak dapat mencapai 30 buah cabang. Jumlah cabang ini akan mempengaruhi besarnya rendemen tanaman padi, setiap malai bisa mencapai 100-120 bunga.
5. Malay
Sedang kata “malai” dalam bahasa Inggris ditulis dengan “malay”. Istilah ini lebih populer dalam dunia akademis, seperti: istilah Malay race yang dipopulerkan oleh Johann Blumenbach, seorang antropolog Jerman yang terkenal dengan konsep ras manusia-nya, pada tahun 1795 menambahkan satu ras manusia baru yaitu ras Melayu (Malay race) ke dalam klasifikasi yang dibuatnya yang sebelumnya telah mengenal 4 ras lainnya: Kaukasia, Mongoloid, Negroid, dan Amerika.
Ras Melayu yang mendiami pesisir timur Sumatera beserta kepulauan di sekitarnya menganggap kebudayaan dan identitas yang mereka miliki sebagai suatu entitas kultural yang unik, berbeda dengan suku-suku lainnya di Nusantara. Tempat atau daerah utama penyebaran dan pengembangan budaya Melayu ini dinamai Malay colone (maleu-kolon) yang dinisbahkan untuk menyebut nama daerah utama migrasi koloni suku-bangsa Melayu, yaitu Suvarnadwipha (pulau Sumatra) dibuktikan dengan banyaknya ditemukan prasasti tentang kemelayuan di pulau ini.
Selain itu, juga terdapat kata Malay People dipopulerkan ke dunia Barat oleh Thomas Stamford Raffles sebagai konsep kebangsaan yang membawa pengertian keseluruhan suku bangsa asli yang mendiami Nusantara atau Malay Archipelago yang tidak lain adalah Nusantara itu sendiri secara geografis (mulai dari Kepulauan Okinawa di sebelah Utara sampai ke Salandia Baru dio sebelah Selatan; dari pulau Madagaskar di sebelah Barat hingga sampai ke Kepulauan Paskah/Salandia Baru di sebelah Timur). Istilah Malay Archipelago sendiri dipopulerkan oleh Alfred R. Wallace melalui buku yang ditulisnya dengan judul yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANTUN MELAYU

Sejarah Bengkalis

NAFAS LAM JALALLAH